Search This Blog

Friday, November 30, 2018

makalah sosiologi pendidikan tentang pendidikan dan perubahan sosial


MAKALAH

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Tentang

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL


Disusun oleh:

AZKIYATI ADILA (1614040035)

MIFTAHUL MAGFIRAH (1614040018)

DOSEN PENGAMPU:

ZAINIMAL

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA-A

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM IMAM BONJOL

PADANG 2017/2018 M

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
I.     PENDAHULUAN
Pendidikan dan perubahan sosial merupakan sesuatu yang saling bertautan satu dengan yang lainnya, dan keduanya itu saling mempengaruhi, sehingga berdampak luas di masyarakat. Pendidikan adalah lembaga yang dapat dijadikan sebagai agen pembaharu/perubahan sosial dan sekaligus menentukan arah perubahan sosial yang disebut dengan pembangunan mesyarakat. Sedangkan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat setiap kalinya dapat direncanakan dengan arah perubahan yang ingin dicapai.
 Perubahan sosial juga dapat terjadi setiap saat tanpa harus direncanakan terlebih dahulu disebabkan pengaruh budaya dari luar. Pendidikan sejak dulu sampai sekarang merupakan hal terpenting dalam hidup manusia. Pendidikan memberikan kemajuan pemikiran umat manusia, sehingga taraf hidup mereka meningkat. Pendidikan mempengaruhi masyarakat yang pada akhirnya terjadi perubahan sosial. Perubahan sosial sebagai bentuk inovasi yang berkaiatan dengan seluruh aspek kehidupan manusia yang bertujuan meningkatkan kemakmuran.
II.  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidikan
Dalam kajian dan pemikiran tentang pendidikan terlebih dahulu perlu diketahui dua istilah yang hampir sama bentuknya dan sering digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu pedagogi dan paedagogiek. Pedagogi berarti pendidikan, sedangkan peda artinya ilmu pendidikan. pedagogik atau ilmu pengetahuan ialah yang menyelidiki, merenung tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Istilah ini berasal dari kata Pedagogia (Yunani) yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan, yang sering menggunakan istilah paidagogos adalah seorang pelayang (bujang) pada zaman Yunani Kuno, yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Paidagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing dan meimpin). [1]
Perkataan paidagogos yang mulanya berarti pelayan, kemudian berubah menjadi pekerjaan mulia. Karena, pengertian pai (dari paidagogos) berarti seorang yang tugasnya membimbing anak di ddalam pertumbuhannya ke arah mandiri dan bertanggung jawab. Dari penjelasn tersebut, secara umum pendidikan adalah sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.[2]
Pendidikan adalah kegiatan membudayakan manusia muda atau membuat orang muda ini hidup berbudaya sesuai standar yang diterima oleh masyarakat. Dalam Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional menurut undang-undang No. 20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[3]
B.     Proses Sosial dan Perubahan Sosial
Proses sosial merupakan setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam suatu jangka waktu yang sedemikian rupa hingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan perilaku dalam kehidupan masyarakat.
1.      Pengertian perubahan sosial
Menurut para ahli definisi perubahan sosial:
a.       Menurut Kingsley Davis
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
b.      Menurut Gillin and Gillin
Perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi, geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
c.       Menurut Mac Iver
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.
d.      Menurut Seio Soemardjan
Perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[4]
Jadi, Perubahan sosial adalah gejala perubahan dari suatu keadaan sosial tertentu ke suatu keadaan sosial lain. Setiap mayarakat senantiasa berada dalam proses sosial. Misalnya antara masyarakat desa dengan masyarakat kota. Kehidupan di desa sangatlah berbeda dengan kehidupan di kota, cara hidup masyarakat desa dengan masyarakat kota juga berbeda. Contohnya saja dari mata pencaharian mereka, masyarakat desa lebih banyak bekerja sebagai petani sedangkan masyarakat kota bekerja dikantor-kantor. Masyarakat di desa lebih lambat perubahannya, adat di desa terkadang juga lebih kental. Sedangkan masyarkat kota perubahannya sangat cepat.[5]
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat menimbulkan ketidaksesuaian antara unsur sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, perubahan sosial akan mengubah struktur dan fungsi dari unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Struktur sosial merupakan bentuk jalinan di antara unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat yang menunjukkan pada bentuk seluruh jaringan hubungan antar individu dalam masyarakat di mana terjalin interaksi dan komunikasi sosial.
2.      Bentuk-bentuk perubahan sosial
a.       Perubahan memerlukan waktu lama, dan rentetan perubahan kecil yang  tidak membawa pengaruh langsung bagi masyarakat.
Contoh: perubahan mode, baik mode pakaian, mode rambut, dan lain-lain.
b.      Perubahan besar, perubahan sosial dan kebudayaan yang membawa pengaruh langsung terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat. Contoh: modernisasi, industrialisasi, liberalisasi dan globalisasi.
c.       Evolusi
Perubahan yang berlangsung secara cepat,dari seramgkaian perubahan yang menyangkut sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.
Contoh: evolusi masyarakat agraris menjadi industri
d.      Revolusi
Perubahanberlangsung secara cepat, dari serangkaian perubahan yang menyangkut sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.
Conttoh: revolusi industri di inggris
e.       Perubahan yang di kehendaki
Suatu tahapan-tahapan perubahan sosialdan kebudayaan yang telah direncanakan oleh agen perubahan atau agent of change
Contoh: pembangunan rumah sakit
f.        Perubahan yang tidak di kehendaki
Suatu dampak dari perubahan sosial dan kebudayaan yang telah di rencanakan.
Contoh: pembangunan sarana jalan raya yang membawa  dampak angka kecelakaan lalu lintas yang tinggi.[6]
3.      Faktor pendorong dan penghambat perubahan sosial
a.       Faktor pendorong
1.      Sikap menghargai hasil karya orang lain dan kehendak untuk maju
2.      Daviasi, yaitu toleransi terhadap perbuatan menyimpang asal bukan merupakan dalih atau pelanggaran.
3.      Kontak dengan kebudayaan lain.
4.      Sistem pendidikan formal yang maju.
5.      Sistem terbuka dalam lapisan masyarakat
6.      Penduduk yang heterogen.
7.      Rasa ketidak puasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
8.      Orientasi ke masa depan.
9.      Sikap optimis dalam hidup.
b.      Faktor penghambat perubahan
1.      Rasa takun akan terjadinya kegoyahan dan mempengaruhi integrasi kebudayaan.
2.       Sikap tertutup dan berprasangka terhadap hal-hal baru.
3.      Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
4.      Perkembangan iptek yang terlambat.
5.      Sikap fatalistik masyarakat.
6.      Adanya kepentingan-kepentingan individual yang tertanam kuat pada diri agen perubahan.
7.      Hambatan-hambatan yang bersifat idiologis.
8.      Hambatan dari faktor adat atau kebiasaan.
9.      Sikap pesimis dalam hidup.[7]
C.     Pendidikan dan Perubahan Sosial
Pertama, perubahan sosial ditinjau dari pendidikan tradisional, kita lihat pedagodik tradisional memandang lembaga pendidikan  sebagai salah satu dari struktur sosial dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Lembaga pendidikan, seperti sekolah perlu disiapkan agar lembaga tersebut berfungsi sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi. Apabila sekolah tidak dapat mengikuti perubahan sosial maka dia kehilangan fungsinya dan kemungkinan besar dia ditinggalkan masyarakat.[8]
Sebagai lembaga sosial, proses belajar di sekolah di sesuaikan dengan fungsi dan peranan lembaga pendidikan. fungsi sekolah ialah mentransmisikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan pada saat itu. Di dalam pedagogik tradisional, tempat individu adalah sebagai objek perubahan sosial. Individu tersebut mempelajari peranan yang baru di dalam kehidupan sosial.
Kedua, perubahan sosial ditinjau dari pedagogik modern (pedagodik transformatif). Titik tolak dari pedagodik transformatif adalah individu-yang-menjadi”. Hal ini berarti seorang individu hanya dapat berkembang di dalam interaksinya dengan tatanan kehidupan sosial budaya dimana dia hidup. Individu tidak dapat hidup apabila diisolasikan dari dunia sosial budaya dimana dia hidup. Adanya suatu pengakuan peran aktif partisipatif dari indovidu yang menjadi dalam tatanan kehidupan sosial dan budayanya. Individu bukanlah sekedar menerima nilai-nilai tersebut hanya dapat dimilikinya melalui peranannya yang aktif partisipatif di dalam aktivitas sosial budaya dalam lingkungannya. Jadi, berbeda dengan pandangan pegagogik tradisional yang melihat individu sebagai makhluk yang pasif reaktif, yang hanya berkembang karena pengaruh-pengaruh dari luar, termasuk pengaruh dari perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungannya.[9]
Pandangan pedagogik transformatif terhadap individu bukanlah sebagai suatu yang telah jadi, tetapi yang sedang menjadi. Individu mempunyai peran emansipasif di dalam kehidupan sosial budaya, termasuk dalam proses pendidikan dalam lingkungan keluarga dan sekolah. Di dalam peranannya yang emansipasif tersebut maka individu bukan hanya sebagi objek dari perubahan sosial, tetapi sekaligus pula berperan sebagai faktor dari pengubah dan pengarah dari perubahan sosial.
Dalam pendidikan transformatif, peserta didiklah yang berperan terjadinya perubahan dalam diri mereka. Adapun guru hanyalah sebagai pendorong, motivator dan memberikan bimbingan kepada peserta didikagar tidak membiarkan melakukan hal yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Dari penjelasan tersebut, pendidikan sangat berpengaruh dalam perubahan sosial. Kita bisa melihat dalam kehidupan nyata perbedaan seseorang yang berpendidikan dengan seseorang yang tidak berpendidikan. Contohnya saja dari cara berpikir dan bertingkah laku mereka sangatlah berbeda. Maka proses pendidikan diharapkan bisa menghasilkan generasi yang cerdas, mandiri, berpengetahuan, berteknologi, berkerampilan, jujur kerja keras, dan berakhlakul kharimah yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada di Indonesia. Pendidikan itu juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan melalui pendidikan, bangsa indonesia yang tadinya terbelakang, dalam waktu yang tidak terlalu lama, telah menjadi negara maju.
III.   PENUTUP
Jadi, pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Yang mana perubahan sosial nantinya akan mempunyai fungsi: melakukan reproduksi budaya, merubah tingkah laku seseorang, mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap intitusi-intitusi tradisional yang telah ketinggalan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Muhammad. 2017. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Astuty, Ty. 2015. Buku Pedoman Sosiologi Pendidikan.Jakarta: Vicosta Publishing.
Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta:  Rajawali Pers.
Neolaka, Amos dan Grace Amalia A. Neolaka. 2017. Landasan Pendidikan; Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup. Depok: Kencana.



[1] Muhammad Anwar, Filsafat pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 1
[2] Ibid., hlm.1-2
[3] Amos Neolaka dan Grace Amalia A. Neolaka, Landasan Pendidikan; Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup, (Depok: Kencana, 2017), hlm. 2-3
[4] Try Astuty, Buku Pedoman Pelajar Sosiologi,(Jakarta: Vicosta Publishing, 2015), hlm. 8-9
[5] Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan  Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 207-208
[6] Try Astuty, Op.cit., hlm. 13-14
[7] Ibid., hlm. 14-16
[8] Abdullah Idi, Op.cit., hlm. 220
[9] Loc.cit


Makalah Filsafat Pendidikan Islam tentang Analisis Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Abdul Karim Amrullahh, Abdullah Ahmad dan Rahmah El-Yunusiyah (Riwayat Hidup dan Konsep Pendidikan)

MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Tentang
“Analisis Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Abdul Karim Amrullahh, Abdullah Ahmad dan Rahmah El-Yunusiyah (Riwayat Hidup dan Konsep Pendidikan)”

Description: D:\Data Acer Aspire E1\gema\GEMA IAIN\lambang UIN IB PADANG\IMG_20170504_131158.jpg

Disusun oleh:
Kelompok 10:
MUHAMMAD IMAM ASHARI RAMBE           : 1614040023
AYATUL AZMA                                                : 1614040008


Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Zulmuqim, MA
Rahmi, MA


JURUSAN TADRIS MATEMATIKA A
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS  ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1439 H/2018 M



BAB I

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pendidikan dari masa ke masa dipelajari dengan cara mengetahui lemabaga-lembaga pengajarannya dan sistemnya, kurikulum dan tujuannya, metode dan cara-caranya. Sistem-sistem dan pikiran-pikiran yang berkaitan dengan penidikan sudah tentu terpengaruh dengan kejadian di sekitarnya, seperti situasi politik politik atau sosial atau ekonomi dan lain-lain, karena dasar-dasar pendidikan biasanya berkembang di bawah pengaruh kejadian-kejadian penting pada suatu masa.
Dalam agenda sejarah tercatat banyak nama tokoh pembaharu di Indonesia, dan khusunya di Sumatera Barat, seperti Syekh Ahmad Khatib, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh M. Djamil Djambek, H. Abdullah Karim Amrullah (H. Rasul), H. Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa, Zainuddin Labai El-Yunusiy, dan Rahmah El-Yunusiyah. Mereka adalah pemimpin-pemimpin pembaharuan yang semuanya bergerak dibidang pendidikan, mereka semua menjadi guru, yang secara tradisional memang merupakan profesi para ulama di masa sebelumnya.
Pembaharu-pembaharu itu mengakui betapa peningnya pendidikan untuk membina dan membangun generasi yang lebih muda, sehingga menyebabkan golongan pembaharupun memerlukan bergerak dibidang pendidikan. Berikut akan dipaparkan beberapa tokoh pembaharu dari Minangkabau.

B.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pemikiran Rahman El-Yunusiyah?
2.      Bagaimanakah pemikiran Abdullah Ahmad
3.      Bagaimanakah pemikiran Abdul Karim Amarullah

C.   Tujuan
1.      Mengetahui pemikiran Rahman El-Yunusiyah.
2.      Mengetahui pemikiran Abdullah Ahmad.
3.      Mengetahui pemikiran Abdul Karim Amarullah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Rahman El-Yunusiyah
Rahmah El Yunusiyah yang hidup dalam kondisi sosial demikian, dilaluinya dengan bermandikan suka dan dukanya serta penuh keoercayaan diri, sehingga ia telah berhasil dan dapat menikmati hasil usaha yang telah ia lakukan semasa hidupnya. Sebagai seorang pejuang wanita bangsa Indonesia, ia telah mengabdikan seluruh hidup dan kehidupannya serta seluruh kekayannya demi kaum, bangsa, agama dan tanah airnya tanpa pamrih. Karena kepribadiannya yang demikian, bermacam-macam gelar yang diberikan oleh masyarakat kepadanya, misalnya, kartini dari keguruan Islam, pendidik wanita Islam, pejuang wanita Islam Indonesia, kartini gerakan Islam dan sebagainya.
Untuk lebih mengenal Rahmah El Yunusiyah lebih jauh, berikut ini akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Kelahiran dan perkawinan
Secara geografis Padang Panjang dikenal sebagai kota hujan dengan udaranya yang dingin. Kota kecil ini sudah sejak lama disebut sebagai “serambi mekah”, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya. Dikota inilah Rahmah El Yunusiyah dilahirkan, yaitu pada hari jumat tanggal 29 Desember 1900 bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1318 H dan meninggal pada hari rabu tanggal 26 Februari 1969 bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah 1388 H pukul 19.30 pada malam takbiran hari raya idul adha dirumahnya di Padang Panjang. Jenazahnya dikuburkan dipekuburan keluarga disamping rumahnya yang juga disamping perguruan yang ia dirikan.[1]
Ibunya bernama Rafi’ah, seorang wanita soleh dari suku sikumbang belahan suku dari datuk bagindo marajo bukit surungan Padang Panjang. Ayahnya bernama Syekh Muhamad Yunus orang alim dengan jabatan qadhi, yaitu jabatan yang berfungsi menikahkan orang kawin dikenagarian Pandai Sikat, sedang kakeknya bernama Syelh Imaduddin, juga seorang alim pemimpin tarikat naqsyah bandiyah. Beliau ini masih mempunyai pertalian darah dengan Haji Miskin Pandai Sikat, yaitu seorang alim pembaharu agama Islam di Minangkabau pada zaman perang Paderi (1803-1838).
Rahmah El Yunusiyah mempunyai saudara kandung 4 orang, yaitu Zainuddin Labay El Yunusih, Mariah, Muh. Rasyad, Rihana. Rahmah sendiri adalah anak bungsu. Dari 5 bersaudara, ia dan Zainuddin Labai El-Yunusiy (lahir tahun 1890) yang menjadi pendidk dan ulama. Zainuddin Labai dikenal sebagai ulama muda yang berpikiran maju di sumatera barat ketika itu dan dipandang sebagai pelopor pembaharu sistem pendidikan agama di Minangkabau, karena ialah yang mula-mula yang menggunakan sistem persekolahan klasikal di perguruannya yang didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 di Padang Panjang yaitu diniyah school.[2]
Dari silsilah Rahmah El-Yunusiyah diatas, Nampak bahwa beliau berasal dari keturunan ulama dan beliau dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama.
Setelah menginjak remaja, rahmah menikah dengan H. Latif, putra seorang ulama beraliran tariqat Naqsyah Bandiyah dari sumpur. Ketika itu rahmah berumur 16 tahun. Ternyata perkawinan itu tidak berumur Panjang. 6 tahun kemudian perceraian tidak bisa dihindari. H. Bahauddin lebih tertarik kepada politik, sementara Rahmah kepada ilmu dan pendidikan. Demikian alasan yang dikemukakan dalam perceraiannya. Namun semua ditempuh lewat jalur kesepakatan dan dilakukan dengan cara baik-baik. Dari perkawinan ini tidak mempunyai anak. Sejak perceraian tersebut ia tidak bersuami lagi.
Hal ini rupanya memberi faedah kepadanya, sehingga ia dapat menumpahkan seluruh perhatian dan hidupnya kepada perguruan yang dia miliki.
2.       Pendidikan yang dipeloreh
Rahmah hidup dan dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat dan kuat agama dan adatnya. Sekalipun adat yang sangat kuat pada masanya berlaku, pihak keluarga nya adalah orang berpendidikan, dan mereka tidak mempertentangkan adat dan agama, tapi menempatkan adat dalam agama. Melalui keluarga dan lingkungannya, rahmah banyak belajar, walaupun ia pada waktu kecilnya belum bersekolah di Sekolah Dasar.ia belajar tulis baca dan berhitung dari dua orang kakaknya laki-laki, yaitu Zainuddin El-Yunusiy dan Muh. Rasyad. Pendidikannya bersifat otodidak. Namun rahmah baru belajar secara teratur di dunia diniyah School yang bersifat Ko-edukasi dengan sistem klasikal.
Rahmah termasuk salah seorang anak yang senang membaca, punya kemauan keras dan bercita-cita tinggi. Ia tidak mendambakan saja belajar pada satu tempat. Di samping belajar sendiri, beliau juga belajar dengan ulama-ulama besar yaitu Syekh Abdul karim Amrullah (ayah dari Hamka), Syekh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Djamil Djambek dan Syekh Daud Rasyidi. Bahkan sejak umur 10 tahun beliau sudah gemar mendengarkan pengajian yang diadakan di surau-surau secara bergilir.
Selain belajar ilmu keagamaan, beliau juga menambah ilmu pengetahuan tentang kebidanan, baik melalui keluarganya maupun melalui tenaga ahlinya, yaitu dokter Sofyan, dokter Tazar, dokter A. Saleh, dokter Arifin, dan dokter A. Sani.
Olahraga dan senam (Gymnastiek) serta renang dipelajarinya dengan seorang guru Meisjes Normal School yaitu nona Oliver. Kemudian ia juga mempelajari cara bertenun tradisional, jahit-menjahit, pelajaran kewanitaan, berenang, dan ilmu-ilmu umum lainnya seperti ilmu hayat, ilmu alam, ilmu bumi dan ilmu lainnya ia pelajari sendiri dari buku.
Semua ilmu itu berimplikasi positif kepada dirinya, kemantapan ilmu dan kepribadiannya. Kemudian semua ilmu yang ia peroleh ia ajarkan kepada murid-muridnya.
Dari kegiatan Rahmah menuntut ilmu tersebut, adalah merupakan manifestasi dari ketidakpuasannya tehadap ilmu pengetahuan yang diperolehnya, dan menyadari kaumnya yang sejenis yang tidak beroleh kesempatan memperoleh pendidikan sebagaimana yang dialaminya. Disamping itu ia melihat dan mendengar bahwa sebagian besar masyarakat masih berpegang kepada pendapat lama. Keadaan yang demikian, merupakan salah satu pendorong yang kuat bagi Rahmah untuk mendirikan sekolah agama khusus untuk anak-anak wanita dikemudian hari.
Di sekolah yang didirikan kakaknya, Zainuddin Labbai, yaitu Diniyah School, ia merasa tidak puas dengan pendidikan yang ia terima, menyebabkan ia belajar ulama-ulama sebagaimana disebut di atas.
Rahmah melihat bahwa hukum agama sangat erat sangkut pautnya dengan seluk beluk kewanitaan. Ia merasakan, dengan sistem koedukasi seperti yang dilakukan kakaknya atau sekolah-sekolah pemerintah pada zaman penjajahan Belanda tidak dapat memberikan ilmu secara bebas dan mengupasnya secara detail. Maka ia berkesimpulan perlu ada sebuah Lembaga pendidikan khusus untuk anak wanita.
Rahmah mendirikan sekolah khusus untuk perempuan, pada saat masyarakat masih berannggapan bahwa perempuan tidak pantas dan belum berhak memperoleh pendidikan yang layak. Harapan dan cita-cita Rahmah untuk mendirikan sebuah ruang pendidikan khusus untuk anak-anak perempuan besar sekali, supaya mereka mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk maju dan dapat menimba ilmu pengetahuan agama Islam lebih banyak dan lebih intensif.
Dilatarbelakangi oleh landasan ideal perguruan, yaitu al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw., dikembangkan menjadi sebuah cita-cita yang ingin dicapai oleh Rahmah El-Yunusiyah, yakni : “Peningkatan derajat kaum wanita dengan memberikan pendidikan yang diatur dan diatur dan didasarkan atas ajaran agama Islam”.
Untuk merumuskan tujuan pendidikan Rahmah berpegang kepada hadits Nabi Saw. Yang menyatakan bahwa baiknya masyarakat dan negara, bila wanitanya baik, begitu pula sebaliknya.
Rahmah El-Yunusiyah bercita-cita memperbaiki kedudukan wanita melalui pendidikan modern berdasarkan prinsip agama. Karena menurutnya, salah satu cara untuk mengangkat derajat kaum wanita adalah pendidikan. Mendidik seorang wanita berarti mendidik seluruh manusia.[3]
3.      Kepribadian Rahmah El-Yunusiyah
Sejak umur 10 tahun Rahmah telah memperlihatkan gejala tipe kepribadian terbuka untuk dunia luar serta terbuka suka bergaul. Hal ini terlihat pada keikutsertaan beliau dalam mengikuti pengajian-pengajian agama yang dilakukan kaum ibu dari masjid ke masjid.
Tipe kepribadian Rahmah yang terbuka ini, mulai menampakkan diri setelah belajar di Diniyah School dan ikut pengajian di Surau Jambatan Besi. Dalam perkembangan kepribadiannya selanjutnya, ia cenderung lebih mendahulukan kepentingan orang banyak dari kepentingan pribadi atau dirinya sendiri, bahkan tak jarang ia tidak mau orang lain terganggu karena perbuatannya.
Rahmah yang dari hari kehari tumbuh menjadi gadis remaja, mempunyai sifat pemalu, yang membawa dirinya jarang bergaul dengan kawan-kawannya. Tapi sifat pemalunya ini pula yang membawanya menjadi insan yang berwibawa dikemudian hari dan dapat menguasai berbagai masalah yang ditanganinya, sehingga ia berlapang hati dalam kerumitan dan kesukaran yang menimpa dirinya. Bersikap tegas dalam menghadapi sesuatu dengan keyakinan yang ada padanya.
Tempaan pengalaman hidup telah membentuk kepribadian Rahmah menjadi seorang yang tabah, penuh toleransi dan teguh pendirian, serta berkeimanan yang kuat, akidah yang tangguh dan ketakwaan yang kokoh.
Hasnawi Karim pernah mengungkapkan bahwa, sulit dibayangkan bagaimana perjuangan, keuletan dan kegigihan Rahmah pada masa itu (mewujudkan cita-citanya). Beliau berhadapan dengan kekolotan dan keterbelakangan kaum wanita, jatuh dan bangun mewujudkan cita-citanya demi menegakkan harkat dan martabat kaum wanita. Di lain pihak beliau harus berhadapan dengan tekanan penajajah, hambatan, tantangan kekakuan yang menetang kehadiran sekolah khusus wanita. Segala ejekan dijadikan sebagai pendorong untuk mewujudkan cita-citanya.
Bila beliau menghadapi kesulitan, malah beliau semakin bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan berbagai ibadah. Sehingga pekerjaan apapun di hadapinya, dilakukannya dengan rasa penuh tanggung jawab, tanpa mengenal mundur dan putus asa disertai semangat baja.
Begitupun dengan sifat Rahmah, bahwa sifat penyayang yang dimilikinya tidak terbatas hanya terhadap sesame manusia saja, tapi juga pada berbagai macam hewan.
Sungguh mengagumkan (tutur Ali Akbar) bahwa beliau sewaktu berumur 23 tahun telah sanggup untuk mendirikan dan membimbing sendiri Perguruan Diniyah Putri di Padang Panjang, hingga tahun 1930 mendirikan gedung untuk sekolah tersebut dengan hasil usaha beliau mencari dana kemana-mana, meyakinkan umat tentang pentingnya perguruan tersebut.
Penampilan beliau tidak emosional bila berbicara, tenang bila berpidato. Berpakaian sederhana dan rapi serta tetap berpakaian klasik, kerudung, baju kurung dan sarung, berperhiasan satu dua, melengkapi pakaian tersebut.
Rahmah El-Yunusiyah berfikir sederhana “manusia yang dilahirkan itu harus dijadikan manusia yang benar-benar manusia yang dikehendaki Tuhan”. Karena itu kaum ibu yang melahirkan manusia itu harus dijadikan manusia yang benar-benar manusia yang sanggup menjadikan anak yang dilahirkannya memenuhi kehendak Ilahi, yaitu manusia yang akan menyelamatkan dunia ini.
Sebagai seorang pemimpin, Rahmah adalah salah satu sosok yang tangguh, bercita-cita tinggi, berkemauan keras disertai kesanggupan bekerja keras. Untuk mencapai suatu cita-cita tidak mengenal mundur dan berputus asa, bahkan rela mengorbankan tenaga dan harta bendanya.
Dengan sifat-sifat dan kepribadian Rahmah yang demikian, telah membawa Rahmah ke jenjang sukses dalam mewujudkan cita-citanya, baik dalam sikap hidupnya sebagai seorang muslimah, maupun sebagai seorang idealist yang sarat dengan cita-cita.[4]
4.      Kurikulum Pendidikan Diniyah Putri
a.      Keberadaan Kurikulum
Kurikulum merupakan rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai panduan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Sebagai rencana pendidikan, Ia mempunyai fungsi yang strategis sebagai penghubung antara idealisme dan kenyataan praktek kependidikan. Dengan kata lain, kurikulum berfungsi sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga pendidikan atau sekolah tertentu. Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, Ia mempunyai peran yang sangat penting dalam kegiatan pendidikan, karena ia menjadi acuan praktis dalam kegiatan tersebut. Ia memberi gambaran yang jelas tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap yang menjadi sasaran fokus studi di Sekolah. Dengan demikian, ia juga memberikan gambaran yang lebih konkrit tentang lulusan yang diharapkan akan dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan.
Meskipun bukan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan keberhasilan suatu proses pendidikan, kurikulum memiliki andil yang besar dalam memberikan corak hasil proses tersebut. Karena itu, agar hasil dari proses tersebut selalu sejalan dengan perkembangan serta tuntutan kebutuhan masyarakat, kurikulum sebagai alat untuk mencapai idealisme pendidikan harus selalu dinamis, menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan tersebut. Membicarakan suatu kurikulum ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan, yaitu organisasi, komponen, dan orientasi. Namun pada pembahasan ini, ketiga hal itu tidak akan dibahas.
Pendidikan dewasa ini berjalan di atas suatu program yang jelas. Maka kurikulum merupakan suatu program bagi jenjang sekolah dalam suatu lingkungan sekolah tersebut. Dapat juga ada kurikulum itu terlihat sebagai program bagi unit periodesasi sekolah dalam rangka mengantar anak-anak kepada taraf pendidikan, tingkah laku dan pola pikir yang diharapkan, serta berusaha pula mengangkat derajat hidup masyarakat mereka dan merealisasikan tujuan akhirnya.
Sesuai dengan masanya, Diniyah Putri sebagai sekolah agama yang mendidik anak putri, telah tampil dengan penuh kepercayaan diri dalam kondisi yang penuh tantangan hambatan dari berbagai kalangan waktu itu. Namun ia tetap tegar menghadapi semuanya itu walaupun hanya dengan bermodalkan kemauan yang kuat dan semangat yang membaja dari pendirinya, yaitu Rahmah El Yunusiyah. Dengan sarana yang sangat sederhana dan bahkan memprihatinkan waktu itu, Rahmah telah melaksanakan pendidikan pada kaum wanita secara khusus beliau telah ditempa dengan berbagai ilmu pengetahuan, lalu semuanya pun diberikan kepada muridnya yang secara bertahap mengalami perkembangan baik dari segi sarana, mata pelajaran, murid murid dan guru.
Diniyah Putri adalah lembaga pendidikan agama yang berdasarkan Islam yang berpedoman kepada al-quran dan al-sunnah Nabi SAW. Secara lengkap Aminuddin Rasyad mengemukakan bahwa Landasan ideal dari cita-cita Rahmah adalah :
1)      Alquran dan al-sunnah
2)      Memperjuangkan terciptanya suatu masyarakat Islam yang berakhlak mulia dengan mengangkat derajat kaum wanita ke tempat yang sewajarnya sesuai dengan ajaran Islam.
3)      Cara beliau berjuang untuk mencapai cita-cita ialah dengan melalui pendidikan dan dakwah.
4)      Untuk pedoman dalam melaksanakan pendidikan, beliau telah menggariskan tujuan pendidikan pada perguruan Diniyah Putri.
“Membentuk putri-putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakep dan aktif secara serta bertanggung jawab dengan tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Ibu pendidik dalam tujuan pendidikan di atas mengandung arti yang sangat dalam sekali, yakni Ibu pendidik yang baik dalam rumah tangga, di sekolah (bila ia menjadi seorang guru) dan dalam masyarakat.
Dari tujuan ini terlihat bahwa betapa dalamnya pemikiran Rahmah yang berpikir jauh kedepan, yang hal ini benar-benar sangat dibutuhkan oleh setiap insan yang ingin maju, oleh setiap situasi dan kondisi, bukan saja untuk zamannya tapi untuk setiap zaman. Oleh karenanya untuk mencapai tujuan yang demikian itu Sudah barang tentu diperlukan kurikulum yang benar-benar dapat berfungsi sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Adapun tujuan pendidikan tersebut diwujudkan melalui program pendidikan sebagai berikut :
1)      Program pendidikan umum yang terdiri dari kelompok pengetahuan umum, bahasa, keterampilan dan sebagainya.
2)      Program pendidikan keahlian di bidang agama dan pengetahuan agama.
3)      Program pendidikan khusus.
4)      Program pendidikan di asrama
Untuk melihat bagaimana kurikulum Diniyah Putri tersebut dari awalnya hingga mengalami perkembangannya, akan dikemukakan terlebih dahulu berikut ini jenis lembaga pendidikan yang ada dalam lingkungan perguruan Diniyah Putri.[5]
b.      Jenis Lembaga Pendidikan Diniyah Putri
Adapun jenis-jenis pendidikan yang pernah ada dan dibina oleh perguruan ini, nampaknya telah melengkapi semua tingkat pendidikan, yaitu sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Selengkapnya adalah terdiri dari: Sekolah Menyesal, Sekolah Taman Kanak-kanak, Sekolah Diniyah rendah pertama Bagian B, Sekolah Diniyah pertama Bagian C, Kuliayatul Mu’allimat El Islamiyah (KMI), dan Perguruan Tinggi Diniyah Putri.
Adapun lembaga pendidikan yang ada dewasa ini (sampai tahun 1978), di lingkungan Diniyah Putri adalah : Diniyah Menengah Pertama (DMP) bagian B, Diniyah Menengah Pertama (DMP) bagian C, Kuliyatul Mu’alimat El-Islamiyah (KMI), Fakultas Dirasat Islamiyah Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Sekarang, perguruan Diniyah Putri mempunyai program pendidikan kembali membuka pendidikan dari Taman Kanak-kanak, sebagaimana diungkapkan dalam buku “Selayang Pandang 75 tahun perguruan Diniyah Putri Padang Panjang” sebagai berikut :
1)      Taman kanak-kanak Islam Rahmah El-Yunusiyah.
2)      Madrasah Ibtidaiyah (MI) Rahmah El Yunusiyah.
3)      Diniyah Menengah Pertama (DMP).
4)      Kuliyatul Mu’allimat al-islamiyyah (KMI).
5)      Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Putri Rahmah El Yunusiyah.
Tingkat dan jenis pendidikan yang ada pada perguruan ini senantiasa mengalami perubahan. Ini terlihat pada keberadaannya yang memang memperhatinkan kebutuhan masyarakat, dan oleh pengurus selalu disesuaikan dengan massanya artinya terjadinya perubahan dalam jenis dan jenjang pendidikan tersebut, amatlah disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, kebutuhan masyarakat di kala itu dan kondisi yang mengharuskan, ia harus berbuat begitu.
Untuk melihat lebih lengkap tentang jenis dan jenjang pendidikan yang ada di perguruan Diniyah Putri ini secara garis besarnya akan disajikan berikut ini.
Tahun 1923 tepatnya tanggal 1 November 1923, berdiri sebuah perguruan agama untuk anak-anak wanita dengan nama Al Madrasahtud Diniyah Lil Banat. Sekitar tahun 1925 namanya diubah dengan nama Diniyah School Putri, dan 2 tahun kemudian diubah lagi dengan nama Al Madrasah Diniyah perempuan. Pada ulang tahun perguruan yang ke-15 di tahun 1938, nama perguruan kembali diubah dengan nama Diniyah School Putri.
Sampai akhir tahun 1930, terdapat dua buah lembaga pendidikan di lingkungan perguruan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Menyesal School. Lama pendidikan semula ditetapkan adalah 6 tahun, namun kemudian untuk meningkatkan mutu pelajaran, direncanakan lama pendidikan menjadi 7 tahun. Pada tahun 1931 peraturan ini mulai dilaksanakan. Adapun masa belajar 7 tahun ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa 4 tahun pertama dinamakan Ibtidaiyah dan masa belajar 3 tahun kedua dinamakan Tsanawiyah. Terjadinya perubahan hal yang demikian memberikan pengertian bahwa para pengasuh dalam masa 7 tahun itu telah melakukan suatu langkah maju yang semua itu tidak terlepas dari kondisi masyarakat waktu itu.
Menyesal School, dianggap sebagai usaha pelengkap bagi kegiatan perguruan, dimaksudkan hanya sebagai lembaga pendidikan yang bersifat kursus. Namun secara administratif dan keuangannya dikelola bersama sama dengan perguruan Diniyah Putri, yang pada mulanya murid-muridnya terdiri dari wanita yang telah berumah tangga dan yang mau wanita gadis. Akan tetapi tahun ajaran 1924 dilakukan pemisahan antara murid-murid tersebut. Murid yang telah berkeluarga dimasukkan ke Menyesal School. Sekolah menyesal atau menyesal school ini berlangsung selama 7 tahun dan tahun 1932 tidak diteruskan lagi, mengingat Rahmah lebih menitikberatkan perhatiannya kepada perguruan agamanya, yaitu pendidikan anak anak gadis.
Pada tanggal 1 Februari 1937, diresmikan pula berdirinya sekolah baru pada Diniyah Putri ini yang bernama kuliyatul Mu’allimat El-islamiyyah (KMI) sebagai lembaga pendidikan keempat. Pendidikan di KMI ini berlangsung selama 4 tahun, kemudian diubah menjadi 3 tahun. Tujuannya adalah untuk mendidik Putri bangsa menjadi guru agama.
Aminudin Rasyad mengemukakan bahwa perkembangan lainnya yang terjadi di lingkungan perguruan Diniyah Putri tahun 1937 sampai 1946 adalah didirikannya Junior Institut tahun 1938, yaitu sekolah umum yang setingkat dengan sekolah rakyat 5 tahun. Pada tahun 1939 didirikan pula sebuah sekolah yang setingkat dengan IHS yaitu Islamitisch Hollandsch school (IHS). Pada masa pendudukan Jepang di IHS namanya diubah menjadi Sekolah Damai, sebagai singkatan dari “Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia”.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar laki-laki, Rahmah pada tahun 1940 mendirikan pula sebuah sekolah guru Putra Islam yaitu : Kuliyatul  Mu’allimat Al-islamiyyah. Sampai tahun 1946 telah berdiri 6 buah lembaga pendidikan, namun tidak semuanya yang dapat diteruskan disebabkan keadaan waktu itu, sehingga yang masih berjalan adalah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Kuliyatul Mu’allimat Al-islamiyyah.
Tahun ajaran 1947 Rahmah mendirikan empat buah lembaga pendidikan baru, yaitu Sekolah Diniyah rendah (SDR), Sekolah Diniyah Menengah Pertama bahagian A (DMP bag. A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama bahagian B (DMP bag. B), Sekolah Diniyah menengah bahagian C (DMP Bag. C).
Sejak tahun 1947 sampai 1978 terdapat 5 buah lembaga pendidikan yaitu SDR, Sekolah Diniyah Menengah Pertama bahagian a b c dan Kuliyatul Mu’allimat al-islamiyah. Setelah setahun matinya SDR, pada tahun 1964 berdiri pula sebuah Akademi Diniyah Putri sebagai persiapan berdirinya Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Dari tahapan-tahapan lembaga pendidikan yang didirikan Rahmah di atas, maka murid-murid akan dapat menyempurnakan pendidikan yang sampai pendidikan tinggi. Dengan demikian pula lengkap lah pendidikan seorang wanita (secara formal) yang akan menjadi Ibu pendidik sebagaimana yang menjadi tujuan perguruan.
Akademi tersebut hanya berjalan selama 2 tahun dan pada tanggal 22 November 1967 diresmikan menjadi Perguruan Tinggi Diniyah Putri Padang Panjang, dengan 2 fakultas yaitu Fakultas Tarbiyah dan Dakwah. Kemudian tahun 1969 diubah namanya menjadi Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI).
Tahun 1986 dibentuk Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi Diniyah Putri, dengan dasar dikaderkannya murid-murid KMI untuk menjadi guru. Maka tahun 1987 Kopertais Wilayah 4 Sumbar Riau Jambi memberi izin operasional kepada Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Diniyah Putri dengan nama “Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Rahmah El Yunusiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam”. Untuk menyelaraskan nama STIT Rahmah dengan Yayasan Rahmah El Yunusiyah, maka berdasarkan SK Menag no. 94 Tahun 1992 tanggal 27 April 1992, STIT Rahma dirubah menjadi STIT Diniyyah Putri El Yunusiyah, dengan kurikulum yang disamakan dengan IAIN Imam Bonjol Padang.
Tahun 1982 didirikan pula Taman Kanak-kanak Islam (TKI) Rahmah El Yunusiyah dalam rangka mengembangkan potensi anak anak prasekolah. Kemudian tahun 1983 Yayasan Rahmah El Yunusiyah mendirikan lagi pendidikan guru taman kanak-kanak Islam (PGTKI). Setelah tahun 1992 PGTKI yang pada mulanya berdiri sendiri, dijadikan sebagai salah satu program yaitu Diploma 1 jurusan PGTKI pada STIT Diniyyah Putri El Yunusiyah sampai sekarang. Demikian jenis pendidikan yang pernah ada dan ada dewasa ini dilingkungan Perguruan Diniyah Putri yang dalam perkembangannya senantiasa mengalami kemajuan. Hal ini memberi pengertian bahwa pengelolanya sangat peduli terhadap kondisi yang berkembang serta kebutuhan yang diharapkan.[6]

B.    Abdullah Ahmad
1.      Biografi dan Pemikirannya
Abdullah Ahmad adalah seorang ulama pembaharu pendidikan islam, pendiri Perguruan Adabiah di Padang dan merupakan pelopor pendidikan madrasah di Indonesia. Oleh Profesor Abudin Nata, Abdullah Ahmad dimasukkan di antara 21 tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Kiprah dan pemikirannya disejajarkan dengan K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, dan Ki Hajar Dewantara.[7]
Ia dilahirkan di Padang Panjang pada tahun 1878, putra dari seorang ulama yang juga pedagang bernama Haji Ahmad. Abdullah memperoleh pendidikan agama dari orangtuanya, dan mengikuti pendidikan dasar di sekolah Kelas Dua yang khusus di peruntukkan bagi anak-anak pribumi di kota kelahirannya.
Dalam usia 17 tahun, pada tahun 1895, Abdullah berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji dan belajar ilmu agama islam kepada Syekh Ahmad Khatib, ulama asal Minangkabau yang menjadi Imam Besar Masjidil Haram dari Mahzab Syafii. Selama empat tahun di Mekah, Abdullah juga menuntut ilmu dari beberapa orang ulama lainnya di sana. Ia juga aktif mengikuti gerakan Wahabi yang sedang gencar-gencarnya pada waktu itu. Abdullah termasuk murid Ahmad Khatib yang tekun dan cerdas, sehingga pernah diangkat menjadi asisten oleh gurunya tersebut.
Abdullah Ahmad kembali ke Minangkabau pada tahun 1899, dan kemudian mengajar di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, dengan menggunakan sistem balaqah (murid duduk melingkar mengelilingi guru). Bersama sahabatnya Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), ia termasuk ulama kaum muda yang menentang bid’ah dann tarekat.
Sekitar tahun 1906 Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menjadi guru menggantikan pamannya, Syekh Abdullah Halim, yang baru meninggal dunia. Ia menjadi guru agama di Masjid Ganting, dan mempunyai pula Jemaah tetap sekitar 300 orang yang mengadakan pengajian dua kali sepekan secara bergiliran dari rumah ke rumah. Sebagian murid-murid pengajiannya adalah orang-orang dewasa, di antaranya adalah para pedagang di Kota Padang.
Di Padang Abdullah Ahmad menyaksikan terjadinya perlakuan tidak adil bagi kaum pribumi untuk mendapat pendidikan dari pemerintah kolonial. Waktu itu sudah ada sekolah dasar HIS untuk anak-anak Belanda dan Eropa, atau HCS untuk anak-anak keturunan China. Tetapi tidak ada sekolah untuk anak-anak pribumi kebanyakan, termasuk untuk anak-anak para pedagang. Hal inilah yang melatarbelakangi Abdullah menggagas pendirian Adabiah School (Perguruan Adabiah) pada tahun 1909, yaitu setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura yang didirikan dan dikelola teman sama sekolahnya di Mekah, Syekh Tahir Jalaluddin.
Perguruan Adabiah didirikan atas bantuan para pedagang di Kota Padang. Ini adalah perguruan Islam yang pertama menggunakan sistem kelas, memakai bangku, meja dan papan tulis. Menurut Mahmud Junus, Adabiah adalah madrasah pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia, karena menurut penyelidikannya tidak ada madrasah atau sekolah serupa yang didirikan lebih dulu dari sekolah Adabiah. Madrasah ini berdiri sebagai sekolah agama sampai tahun  1914, dan sejak tahun 1915 diubah menjadi HIS Adabiah.
Dengan aktivitas tersebut, ada dua kepeloporan yang dilakukan Abdullah Ahmad. Selain merupakan madrasah pertama di Indonesia, sejak menjadi HIS Adabiah sekolah ini juga merupakan sekolah umum pertama di Indonesia yang memasukkan pelajaran agama Islam dan Al-Qur’an sebagai mata pelajaran wajib dalam sistem atau kurikulumnya. Inilah yang membedakannya dengan HIS yang didirikan pemerintah Belanda.
Abdullah Ahmad terkenal getol memperjuangkan masuknya mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum di Minangkabau. Dalam hal ini, ia berlawanan dengan Datoek Soetan Maharadja, tokoh adat ortodok dan pemimpin koran Soenting Melajoe yang beranggapan pendidikan agama Islam tidak perlu masuk kurikulum sekolah, tetapi cukup dilakukan atas prakarsa masyarakat. Parkara ini menjadi bahan polemic antara Soenting Melajoe dengan majalah al-Moenir yang dipimpin Abdullah Ahmad.
Ciri lain kemodrenan HIS Adabiah adalah dipilihnya guru-guru yang berbobot, yang setara dengan sekolah yang dikelola pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan, berkat kemampuan kepemimpinannya, Abdullah Ahmad berhasil mendapatkan dana dari pemerintah Belanda untuk menjalankan sekolahnya, serta menempatkan pula guru berkebangsaan Belanda sebagai kepala sekolah dan guru untuk pelajaran umum, serta guru-guru pribumi berkualitas untuk pelajaran agama. Ia juga mengembagkan debating club (kelompok diskusi), dan pada waktu itu merupakan sesuatu yang baru mengingat sebelumnya sistem pendidikan lebih bersifat satu arah dari guru kepada murid. Tapi Abdullah Ahmad mengembangkan metode diskusi, dimana antara murid dan guru bebas bertanya jawab bahkan berdebat.
Sejak berdirinya, HIS Adabiah beberapa kali mengalami perubahan. Sejak Proklamasi Kemerdekaan, HIS Adabiah berubah menjadi peguruan umum yang menyelenggarakan pendidikan SD, SMP dan SMA. Menjelang usianya yang ke-100 tahun, peguruan ini bahkan juga telah memiliki perguruan tinggi. Jumlah pelajarnya untuk semua tingkat penddikan tersebut mencapai ribuan orang.
Disamping sebagai perintis dan pelopor pembaruan pendidikan, Abdullah Ahmad juga tercatat sebagai penulis yang produktif. Untuk menyampaikan gagasan dan pemikirannya, sejak tahun 1911 ia bersama Haji Abdul Karim Amrullah menerbitkan majalah al-moenir di Padang. Meskipun masa hidup majalah tersebut hanya lima tahun (1911-1916), namun telah banyak melahirkan pemikiran dan ide-ide pembaruan di bidang pendidikan dan agama Islam.
Abdullah Ahmad juga menulis sejumlah buku. Diantaranya ilmu sejati yang merupakan kumpulan tulisannya yang diterbitkan dalam bahasa Arab-Melayu, terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh percetakan al-munir. Ia juga menulis Sya’ir Perukunan yang berisi syair-syair untuk nyanyian murid-murid sekolah. Karangannya yang lain berupa buku adalah Pembuka Pintu Surga, al-Ittifaq wal Iftiwaq, serta Izharu Zaglil Kazibin.
Tokoh ini mengabdikan sepanjang hidupnya untuk pendidikan dan kemajuan umat. Selain mendirikan dan mengelola sekolah, ia juga menaruh perhatian besar bagi kemajuan para pendidik sendiri. Bersama sejumlah ulama dan tokoh pendidikan terkemuka di Minangkabau, pada tahun 1919 Abdullah Ahmad mendirikan organisasi Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI).
Berkat perjuangan, kerja keras, kegigihan, prestasi dan pengabdiannya di bidang pendidikan, pada tahun 1926 Abdullah Ahmad bersama Haji Abdul Karim Amrullah memperoleh gelar Doktor Honoris Causa di bidang pendidikan agama di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Abdullah Ahmad, sebagaimana juga sahabatnya Haji Rasul, sangat keras menentang Jepang. Sama kerasnya dengan sikapnya menentang komunis dan penjajahan Belanda. Tokoh ini meninggal sebelum Proklamasi, tahun 1943. [8]

C.   Abdul Karim Amrullah
1.      Riwayat Hidup
Syekh Abdul Karim Amarullah lahir pada tanggal 17 Safar 1296 H, bertepatan dengan 10 Februari 1879 di Kepala Kebun, Jorong Betung Panjang, Negeri sungai Batang Maninjau dalam Luhak Agam, Sumatera Barat. Ketika dilahirkan diberi nama oleh orang tuanya Muhammad Rasul. Dilihat dari silsilah keturunannya, Abdul Karim Amarullah merupakan keturunan kaum agama atau ulama besar Minangkabau ketika itu. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Amarullah (gelar tuanku kissai), seorang ulama besar di Minangkabau saat itu. Sedangkan ibunya bernama Tarwasa. 
Sebagai seorang keturunan ulama, Abdul Karim Amarullah sangat diharapkan oleh keluarganya untuk menjadi ulama, meneruskan tradisi keluarga dimasa yang akan datang. Semenjak kecil orang tuanya memberikan dasar-dasar agama Islam. Kemudian beliau belajar kepada ulama-ulama yang termasyhur pada waktu itu, seperti Tuanku H. Hud dan Tuanku Pakih Samun di Tarusan, Tuanku Muhammad Yusuf di Sungai Rotan Pariaman. Cita-cita ayahnya untuk menjadikan Abdul Karim Amarullah sebagai seorang ulama seperti beliau tidak pernah surut. Untuk itu, setelah kembali dari menuntut ilmu di Sungai Rotan, yaitu dalam usia 16 tahun, ayahnya menganjurkan Haji Rasul untuk pergi ke Mekkah guna belajar agama.
Pada tahun 1312 H (1894), berangkatlah Haji Rasul ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji dan sekaligus untuk belajar agama. Sesampai di Mekkah, beliau belajar agama kepada beberapa orang ulama besar, diantaranya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Salih ‘Bafadhal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Said Yaman dan Syekh Yusuf Nabhani. Dari sekian banyak gurunya itu, Syekh Ahmad Khatib merupakan guru yang paling dihormati dan dikaguminya.
Haji Rasul termasuk seorang murid yang cerdas. Beliau tidak pernah merasa puas dengan keterangan yang diberikan guru, sehingga beliau suka bertanya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Hamka.[9]
Dalam belajar, beliau suka hanya menekur saja. Beliau suka bertanya kepada guru dan kalau perlu, beliau suka membantah. Pada waktu itu hal yang demikian yang sangat pantang. Kalau bertanya atau membantah guru, dicap durhaka. Syekh Ahmad Khatib sangat sayang kepadanya, karena otaknya yang cemerlang, selipun kadang-kadang beliau merasa tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan beliau.
Selanjutnya Hamka mengatakan bahwa ayahnya bercerita: pernah ayah belajar kepada seorang guru, di mana saat menerangkan pelajaran guru tersebut salah dalam menyampaikan, sebab kaji itu tidak ditelaahnya terlebih dahulu di rumah sebelum mengejar. Maka kawan-kawan ayah terkejut dan memandang ayah dengan mata yang berapi-api dan gurupun marah. Tetapi ayah tidak takut. Ayah persilahkan guru itu memeriksa kembali buku pelajaran. Kebetulan apa yang ayah kata benar, sehingga dengan perasaan yang agak malu, guru itu akhirnya membenarkan pendapatku.
Setelah belajar selama 7 tahun di Mekkah, dalam tahun 1319 H/1901, tepat 100 tahun sesudah tiga orang haji, Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik pulang dari Mekkah dengan mengembangkan paham Paderi, Haji Rasul pun pulang ke Minangkabau bersama-sama kawannya Syekh Muhammad Djamil Djambek dan Abdullah Ahmad. Sesampai di Minangkabau, beliau tampil sebagai tokoh tiga serangkai pembaharuan Islam, melanjutkan gerakan pembaharuan Islam yang telah dirintis oleh kaum Paderi.
Pada tahun 1904, beliau kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya bersama adik-adiknya Abdul Wahab, Mohammad Nor dan Muhammad Yusuf, untuk memperdalam ilmu agamanya. Akan tetapi ketika sesampai di Mekkah, gurunya Syekh Ahmad Khatib mengatakan kepadanya bahwa ilmunya telah cukup dan tidak perlu lagi belajar kepadanya. Sebaliknya, Syekh Ahmad Khatib malah menyarankan agar Haji Rasul sebaiknya mengajarkan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya. Apabila dalam proses pengajaran tersebut ia menemui soal-soal yang sulit dan rumit, maka ia disuruh datang bertanya kepadanya.
Setelah mengajar  selama 2 tahun di Mekkah Haji Rasul pulang kembali ke Minangkabau. Dalam perjalanan pulang, beliau berjumpa dengan utusan Sultan Ternate, yang telah mengenalnya di Mekkah. Utusan itu mengadakan bahwa Sultan menginginkan seorang guru agama yang cakap dan dalam ilmunya. Untuk itu, beliau diajak pergi ke sana dan menjanjikan akan mendapatkan jabatan yang layak. Tawaran itu tidak ditolaknya, melainkan beliau menjawab bahwa beliau akan pulang dahulu, dan kalau diizinkan oleh ayah beliau, tentu tidak keberatan pergi ke Ternate memenuhi tawaran Sultan.[10]
2.      Pemikiran Abdul Karim Amarullah Tentang Pendidikan
a.       Kurikulum
Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan Islm masih bersifat tradisional. Kurikulum pendidikan masih tradisional, yang berkisar pada al-Qur’an dan pengajian kitab, yang meliputi Nahwu Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang hanya terpaku pada situ kitab raja.
Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga tergerak hati Syekh Abdul Karim Amarullah dan kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikan Islam. Ilmu-ilmu yang masuk ke dalam kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada satu kitab saja. Ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam mencapai dua belas mata pelejaran dan dengan menggunakan berbagai macam kitab. Mata pelajaran tersebut adalah:
1)      Ilmu Nahwu                                  7) Ilmu Musthalah Hadis
2)      Ilmu Sharaf                                   8) Ilmu Mantiq (logika)
3)      Ilmu Fiqih                                     9) Ilmu Ma’ani
4)      Ilmu Tafsir                                    10) Ilmu Bayan
5)      Ilmu Tauhid                                  11) Ilmu
6)      Ilmu Hadis                                    12) Ilmu Ushul Fiqih
Syekh Abdul Karim Amarullah menyusun kurikulum pendidikan Islam berdasarkan tingkat atau kelas. Sebab Syekh Abdul Karim Amarullahtelah menerapkan sistem klasikal dalam lembaga pendidikan Islam. Berbeda dengan kedaan sebelumnya, pendidikan yang diberikan di lembaga pendidikan Islam tidak dibedakan kelasnya antara yang sudah tinggi pelajarannya dengan yang masih permulaan. Kondisi ini menurut Haji Rasul tidak efektif. Sebab itu, beliau membagi murid-murid dalam kelas-kelas tertentu, sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Disamping itu, Haji Rasul juga memakai kitab rujukan yang ditulisnya sendiri dan juga yang ditulis. Susunn kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan saat itu adalah:
1)      Pengajian al-Qur’an
2)      Pengajian Kitab, yang terdiri atas beberapa tingkat yaitu:
a)      Mengkaji Nahwu, Sharaf dan Fiqh, dengan memakai kitab-kitab: Ajrumiah, Matan Bina, Fathul Qarib dan sebagainya.
b)      Mangkaji Tauhid, Nahwu, Sharaf dan Fiqh dengan memakai kitab-kitab: Sabusi, Syekh Khalid (Azhari, ‘Asymawi), Kailani, Fathul Mu’in dan sebaginya.
c)      Mengkaji Tauhid, Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab: Kifayatul “Awam (Ummul Barahin), Ibnu Aqil, Mahali, Jalalain/Baidlawi dan lain-lain.
Jika diperhatikan kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan Haji Rasul di atas, ternyata sesuai dengan kemampuan dan perkembangan murid. Meskipun ilmu yang diajarkan sama, namun pada tingkat yang lebih tinggi dipergunakan pula kitab-kitab yang lebih sulit dan lebih tinggi, yang membutuhkan penelaahan lebih mendalam. Bahkan pada tingkat tinggi, diajarkan pula ilmu Mantiq, ilmu Balaghah, ilmu Tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab seperti: Idlahul-Mubham, Jauhar Maknun/ Talkhish, Ihya Ulumuddin, dan lain-lain.
Disamping itu Haji Rasul juga memakai kitab rujukan yang ditulisnya sendiri dan juga dituls oleh Zainudiin Labay El-Yunusiy, yang merupakan guru bantu ketika masih mengajar di surau Jembatan Besi. Dengan demikian, sekalipun kurikulum pendidikannya masih murni ilmu-ilmu agama Islam, namun ilmu-ilmu keislaman yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikannya telah berkembang, serta kitab-kitab yang dijadikan rujukan juga telah diperbaharui.[11]
b.      Sistem dan Metode Pembelajaran
Disamping memperbaharui kurikulum pendidikan Islam yang dipandang sudah ditinggalkan zaman, Syekh Abdul Karim Amarullah juga memperbaiki sistem dan metode pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam bidang sistem dan metode pembelajaran yang dibawa oleh Syekh Abdul Karim Amarullah  adalah mengembangkan sistem klasikal dan menggunakan metode diskusi tanya-jawab. Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berpikir bebas, membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi. Murid-murid dirangsang untuk bertanya dan berdebat dengan guru.
Sebagaimana diketahui bahwa sistem pembelajaran yang berkembang dalam sistem pendidikan Islam saat itu adalah sistem halaqah. Dengan sistem halaqah ini, murid-murid dan guru bersama-sama duduk di lantai membentuk lingkaran. Kemudian guru membacakan kitab dan menerangkan isinya, sementara murid-murid mendengarkan, memahami dan menghafal keterangan yang diberikan oleh guru.
Metode menghafal merupakan merupakan ciri umum dalam sistem pendidikan Islam pada masa itu. Metode ini mengutamakan agar murid dapat menghafal suatu pelajaran (verbolisme). Murid disuruh membawa berulang-ulang pada yang disampaikan oleh guru, sehingga pelajaran tersebut benar-benar melekat di kepala, walapun tidak begitu dipahami.
Metode hafalan yang digunakan dalam sistem pendidikan Islam tradisional (sistem surau), tidak mendorong siswa untuk aktif. Murid hanya pasif menerima materi pelajaran yang disampaikan guru dan manghafalanya. Murid tidak boleh bertanya, apalagi membantah pendapat guru, sekalipun keterangan guru itu diyakini salah. Bertanya atau berdebat dengan guru dipandang menentang atau melawan pada guru.
Metode pembelajaran seperti ini menurut Syekh Abdul Karim Amarullah tidak dapat membawa pada kemajuan pada murid. Dengan metode demikian, murid akan berpikir sempit, sehingga tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang terus berkembang, ilmu hanya sekedar dihafal, tetapi kurang dipahami, sehingga ilmu tidak dapat memecahkan persoalan yang muncul ditengah-tengah  masyarakat. Oleh sebab itu, Syekh Abdul Karim Amarullah berusaha memperbaharui metode pembelajaran yang dapat merangsang murid untuk berpikir bebas, berdiskusi, berdialog, berdebat dan berorganisasi. Murid tidak hanya untuk dituntut untuk menghafal ilmu yang diberikan, melainkan juga harus memahami, mengabstraksi, mengkontekstualisasikan dan mentransformasikan lebih jauh. Ini menunjukan bahwa Haji Rasul mulai mengambangkan semangat ilmiah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya.
Dengan semangat dan etos ilmiah yang dikembangkan Haji Rasul ini, maka menurut beliau sistem pembelajaran berhalaqah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Untuk itu pada tahun 1918 Haji Rasul menyelenggarakan pendidikan berkelas di surau Jembatan Besi yang dipimpinnya. Murid-murid dibagi menjadi tujuh kelas menurut umur dan tingkat pendidikannya. Pada tingkat permulaan, murid-murid diajar oleh guru-guru bantu (asisten). Diantara asistenya yang terkenal adalah Zainuddin Labay El-Yunusi. Kitab-kitab yang diajarkan terbatas pada kitab-kitab yang dikarang oleh Zainuddin Labay El-Yunusi sendiri atau oleh guru-guru lain. Pada tingkatan tertinggi baru diajarkan kitab-kitab yang berasal dari Mesir di bawah asuhan Haji Rasul, sebagai guru besar.
Pada mulanya kelas yang akan ditetapkan hanya tiga kelas, yaitu kelas I,II, dan III. Akan tetapi setelah dicoba melaksanakannya, ternyata kelas I harus dipecah menjadi empat tingkat, yaitu 1A, 1B, 1C, dan 1D. Sementara itu kelas dua dibagi menjadi dua kelas, yaitu 2A dan 2B, kelas III dapat dipertajan menjadi satu kelas. Kemudian kelas 1A, 1B, 1C, dan 1D menjelma menjadi kelas 1, 2, 3, dan kelas 4. Sedangkan kepada kelas 2A dan 2B menjadi menjelma kelas 5 dan 6. Seterusnya kelas 3 menjadi kelas 7.
Sistem dan metode pembelajaran baru dilaksanakan oleh Haji Rasul di lembaga pendidikan Islam yang bernama Perguruan Thawalib Padang Panjang, ternyata dapat membangkatkan motivasi yang kuat dari para muridnya untuk mencapai kemajuan. Dengan metode diskusi, tanya jawab yang berdebat yang dikembangkannya, timbal dari diri murid semangat untuk menggali ilmu sendiri.
Murid-murid menjadi lebih kreatif, berpikir bebas dan berani mengemukakan pendapat. Dalam diri murid tertanam jiwa patriotik, sehingga tidak heran kalau akhirnya banyak dari murid dan guru Thawalib yang terjun ke lapangan politik, menentang penjajahan Belanda.
c.       Organisasi Siswa
Haji Rasul memikirkan pola bagaimana supaya murid terhimpun dalam organisasi. Beliau melihat bahwa organisasi itu adalah penting. Tanpa adanya organisasi yang rapi, penjajahan mustahil dapat diusir. Semangat berorganisasi ini mulai muncul dari diri Haji Rasul ketika beliau menyaksikan organisasi Muhamdiyah di Yogyakarta. Oleh sebab itu, beliau menganjurkan kepada murid-muridnya untuk membentuk sebuah Terorganisasi.
Ketika Bagindo Jamaluddin Rasyad memberikan ceramah umum tahun 1915 di Padang Panjang, Haji Rasul menganjurkan kepada murid-muridnya untuk menghadiri dan mendengarkan ceramah umum tersebut. Sebab ceramah yang akan diberikan oleh Rasyad adalah berkaitan dengan pengalamannya ketika mengunjungi Eropa dan melihat kemajuan yang dicapai di sana. Dalam ceramahnya itu, Rasyad menjelaskan bahwa kemajuan yang dicapai oleh Eropa adalah karena kamajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pentingnya berorganisasi. Menurutnya Eropa telah memiliki kesadaran yang tinggi dalam berorganisasi. Dengan berorganisasi, segala sesuatu akan mudah dicapai. Sebaliknya, usaha yang bersifat perseorangan, tidak terorganisir, pasti akan berkesudahan dengan kegagalan.
Setelah mendengar ceramah yang disampaikan oleh Rasyad tersebut, timbullah keinginan dari murid-murid Haji Rasul untuk membentuk sebuah organisasi. Untuk itu, disepakatilah membentuk sebuah organisasi murid-murid dengan nama Persaiyoan. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memudahkan murid dalam mendapatkan kebutuhan harian mereka dengan harga yang murah dan dengan pembayaran yang longgar. Sejak itu berdirilah sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi. Organisasi ini membentuk suatu badan usaha yang menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para murid sehari-hari, seperti sabun mandi dan sabun cuci. Kemudian juga disediakan buku tulis, pensil, sehingga akhirnya Persaiyoan populer dengan sebutan “Perkumpulan Sabun”.
Setelah perkumpulan ini berjalan, salah seorang murid Haji Rasul, yaitu Hasyim berusaha mengembangkannya. Atas usahanya, semua keperluan murid dilengkapi. Usaha ditambah dengan pelayanan gunting rambut, menjahit pakaian, mencuci, setrika, dan keperluan harian lainnya. Menurut Datuk Palimo Kayo, tahun 1918, Perkumpulan sabun tersebut berubah menjadi Thawailib, yang kemudian menjadi nama sebuah perguruan yang termasyhur. Karena murid-murid Haji Rasul di surau Jembatan Besi umunya berasal dari luar Padang Panjang, bahkan banyak pula yang dari daerah lain di pulau Sumatera, maka Zainuddin Labay El-Yunusi menambah nama Thawailib dengan kata Sumatera, sehingga menjadi Sumatera Thawalib. Demikian juga pengajian di Surau Jembatan Besi disesuaikan namanya dengan Sumatera Thawalib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu pengurus sekolah yang anggota-anggotanya terdiri dari tamatan surau Jembatan Besi, guru-guru muda dan pedagang-pedagang disekitar Padang Panjang.
d.      Kitab Pegangan Guru dan Murid (Rujukan)
Pembaharuan dalam kurikulum membawa perubahan dalam kitab rujukan. Pda tahun 1920 beliau melakukan pembaharuan dalam kitab-kitab rujukan di Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Haji Rasul mulai menukar kitab-kitab yang dipakai selama ini dengan kitab-kitab baru, terutama bagi murid-murid kelas 7. Di kelas 7 ini kitab Bidayat al-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd mulai diajarkan, demikian juga kitab-kitab yang lain, seperti, Ushul al-Ma’mul, Al-Muthazzab, dan sebagainya.
Menurut Taufik Abdullah, pemakaian kitab-kitab baru ini, sudah mulai dilaksakan pada pertengahan tahun 1920. Murid-murid kelas rendah disamping masih mempelajari kitab-kitab lama, juga harus dilengkapinya dengan buku-buku baru karangan guru-guru mereka sendiri, yaitu karangan Haji Rasul dan kawan-kawannya. Mulai saat itu, Perguruan thawalib Padang Panjang dianggap sudah menapilkan dirinya menjadi sekolah agama Islam modern.
Pemakaian kitab-kitab klasik dan modern ini memperlihatkan sasaran baru yang hendak dituju oleh Haji Rasul melalui Perguruan Thawalib yang dipimpinnya, yaitu pengembangan intelektual dengan memberikan kesempatan melakukan ijtihad, seterusnya membuka diri untuk menerima perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.
Menurut Muhammad Yunus, suatu perubahan besar yang dilakukan Haji Rasul dalam bidang penyediaan sarana dan prasarana belajar setelah mengganti kitab Dhammun dan Al’Awamil yang ditulis tangan dengan kitab-kitab yang sudah dicetak.
Demikianlah beberapa pemikiran dalam sistem pendidikan Islam yang dibawa oleh Syekh Abdul Karim Amarullah, yang lebih populer saat itu dengan sebutan “InyikDR” atau Haji Rasul. Dengan sistem pendidikan baru yang dikembangkannya, telah melahirkan suatu revolusi mental, kemerdekaan berpikir, wawasan yang luas, semangat kreativitas, dan sebagainya murid-muridnya, sehingga pada gilirannya terdorong untuk melawan penjajahan Belanda.[12]







BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan  
Dinamika sosial Islam di Minangkabau mengalami perkembangan dengan baik, karena tingginya respon masyarakat terhadap pendidikan, terjadinya interaksi antara tokoh ulama dan pendidik dengan dunia luar, apakah melalui pendidikan di Mekah dan Mesir atau hasil interaksi dengan pemikiran kolonial, yang tentunya memberikan corak berpikir yang dapat berdialektika dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya dinamika pendidikan Islam di Minangkabau cukup baik, yakni awalnya sistim pendidikan surau dengan model halaqah, menjadi sistim pendidikan modern dengan model klasikal, revisi kurikulum dengan penambahan mata pelajaran agama dan diajarkan juga mata pelajaran umum, peningkatan SDM tenaga pendidik, dan dilakukan evaluasi pembelajaran yang menjadi tolak ukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam.
Ketiga tokoh pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau yang dituangkan pada pembahasan sebelumnya memberikan corak bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, khususnya dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam.

B.    Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang dapat dipertanggung jawabkan. Kami sangat menerima saran dan kritikan dari pembaca untuk membuat makalah ini lebih baik lagi.



DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, 2005, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Chaniago, Hasril, 2010, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Hakim, Rusniati, 2001, Konsep Pendidikan Islam Rahman El-Yunusiyah, Padang: Baitul Hikmah.
Ihsan, Fuad dan Hamdani Ihsan, 1998, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia.
Ramayulis dan Samsul Nizar, 2006, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Saydam, Gouzali, 2009, 55 Tokoh Indonesia Asal Minangkabau di Pentas Nasional, Bandung: Penerbit Alfabeta.
Yunus, Mahmud, 1993, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung.



[1] Gouzali Saydam, 55 Tokoh Indonesia Asal Minangkabau di Pentas Nasional, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2009), h. 207

[2] Rusniati Hakim, Konsep Pendidikan Islam Rahman El-Yunusiyah, (Padang: Baitul Hikmah, 2001), h.29-30

[3] Ibid., h. 31-34
[4] Ibid., h. 34-37
[5] Fuad Ihsan dan Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), h. 274

[6] Ibid., h. 37-45
[7] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,  (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11
[8] Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di atas Pentas Sejarah, (Padang: Citra Budaya Indonesia, 2010), h. 132-135
[9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), h. 149
[10] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 349-350
[11] Ibid., h. 351-352
[12] Ibid., h. 353-358

Entri yang Diunggulkan

Makalah Pengembangan Kurikulum tentang Evaluasi Kurikulum