MAKALAH
FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
Tentang
“Analisis
Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Abdul Karim Amrullahh, Abdullah Ahmad dan
Rahmah El-Yunusiyah (Riwayat Hidup dan Konsep Pendidikan)”
Disusun
oleh:
Kelompok
10:
MUHAMMAD IMAM ASHARI RAMBE : 1614040023
AYATUL AZMA : 1614040008
Dosen
Pembimbing :
Prof. Dr. Zulmuqim, MA
Rahmi, MA
JURUSAN
TADRIS MATEMATIKA A
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM
BONJOL PADANG
1439
H/2018 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan
dari masa ke masa dipelajari dengan cara mengetahui lemabaga-lembaga
pengajarannya dan sistemnya, kurikulum dan tujuannya, metode dan cara-caranya.
Sistem-sistem dan pikiran-pikiran yang berkaitan dengan penidikan sudah tentu
terpengaruh dengan kejadian di sekitarnya, seperti situasi politik politik atau
sosial atau ekonomi dan lain-lain, karena dasar-dasar pendidikan biasanya
berkembang di bawah pengaruh kejadian-kejadian penting pada suatu masa.
Dalam agenda
sejarah tercatat banyak nama tokoh pembaharu di Indonesia, dan khusunya di
Sumatera Barat, seperti Syekh Ahmad Khatib, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh M.
Djamil Djambek, H. Abdullah Karim Amrullah (H. Rasul), H. Abdullah Ahmad, Syekh
Ibrahim Musa, Zainuddin Labai El-Yunusiy, dan Rahmah El-Yunusiyah. Mereka
adalah pemimpin-pemimpin pembaharuan yang semuanya bergerak dibidang
pendidikan, mereka semua menjadi guru, yang secara tradisional memang merupakan
profesi para ulama di masa sebelumnya.
Pembaharu-pembaharu
itu mengakui betapa peningnya pendidikan untuk membina dan membangun generasi
yang lebih muda, sehingga menyebabkan golongan pembaharupun memerlukan bergerak
dibidang pendidikan. Berikut akan dipaparkan beberapa tokoh pembaharu dari
Minangkabau.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah pemikiran Rahman
El-Yunusiyah?
2.
Bagaimanakah pemikiran Abdullah Ahmad
3.
Bagaimanakah pemikiran Abdul Karim
Amarullah
C. Tujuan
1.
Mengetahui pemikiran Rahman El-Yunusiyah.
2.
Mengetahui pemikiran Abdullah Ahmad.
3.
Mengetahui pemikiran Abdul Karim
Amarullah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rahman El-Yunusiyah
Rahmah El
Yunusiyah yang hidup dalam kondisi sosial demikian, dilaluinya dengan
bermandikan suka dan dukanya serta penuh keoercayaan diri, sehingga ia telah
berhasil dan dapat menikmati hasil usaha yang telah ia lakukan semasa hidupnya.
Sebagai seorang pejuang wanita bangsa Indonesia, ia telah mengabdikan seluruh
hidup dan kehidupannya serta seluruh kekayannya demi kaum, bangsa, agama dan
tanah airnya tanpa pamrih. Karena kepribadiannya yang demikian, bermacam-macam
gelar yang diberikan oleh masyarakat kepadanya, misalnya, kartini dari keguruan
Islam, pendidik wanita Islam, pejuang wanita Islam Indonesia, kartini gerakan
Islam dan sebagainya.
Untuk lebih
mengenal Rahmah El Yunusiyah lebih jauh, berikut ini akan dikemukakan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Kelahiran
dan perkawinan
Secara geografis Padang Panjang dikenal
sebagai kota hujan dengan udaranya yang dingin. Kota kecil ini sudah sejak lama
disebut sebagai “serambi mekah”, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya. Dikota
inilah Rahmah El Yunusiyah dilahirkan, yaitu pada hari jumat tanggal 29
Desember 1900 bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1318 H dan meninggal pada hari
rabu tanggal 26 Februari 1969 bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah 1388 H
pukul 19.30 pada malam takbiran hari raya idul adha dirumahnya di Padang
Panjang. Jenazahnya dikuburkan dipekuburan keluarga disamping rumahnya yang
juga disamping perguruan yang ia dirikan.[1]
Ibunya bernama Rafi’ah, seorang wanita
soleh dari suku sikumbang belahan suku dari datuk bagindo marajo bukit surungan
Padang Panjang. Ayahnya bernama Syekh Muhamad Yunus orang alim dengan jabatan
qadhi, yaitu jabatan yang berfungsi menikahkan orang kawin dikenagarian Pandai
Sikat, sedang kakeknya bernama Syelh Imaduddin, juga seorang alim pemimpin
tarikat naqsyah bandiyah. Beliau ini masih mempunyai pertalian darah dengan Haji
Miskin Pandai Sikat, yaitu seorang alim pembaharu agama Islam di Minangkabau
pada zaman perang Paderi (1803-1838).
Rahmah El Yunusiyah mempunyai saudara
kandung 4 orang, yaitu Zainuddin Labay El Yunusih, Mariah, Muh. Rasyad, Rihana.
Rahmah sendiri adalah anak bungsu. Dari 5 bersaudara, ia dan Zainuddin Labai
El-Yunusiy (lahir tahun 1890) yang menjadi pendidk dan ulama. Zainuddin Labai
dikenal sebagai ulama muda yang berpikiran maju di sumatera barat ketika itu
dan dipandang sebagai pelopor pembaharu sistem pendidikan agama di Minangkabau,
karena ialah yang mula-mula yang menggunakan sistem persekolahan klasikal di
perguruannya yang didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 di Padang Panjang
yaitu diniyah school.[2]
Dari silsilah Rahmah El-Yunusiyah diatas,
Nampak bahwa beliau berasal dari keturunan ulama dan beliau dibesarkan dalam
keluarga yang taat beragama.
Setelah menginjak remaja, rahmah menikah
dengan H. Latif, putra seorang ulama beraliran tariqat Naqsyah Bandiyah dari
sumpur. Ketika itu rahmah berumur 16 tahun. Ternyata perkawinan itu tidak
berumur Panjang. 6 tahun kemudian perceraian tidak bisa dihindari. H. Bahauddin
lebih tertarik kepada politik, sementara Rahmah kepada ilmu dan pendidikan.
Demikian alasan yang dikemukakan dalam perceraiannya. Namun semua ditempuh
lewat jalur kesepakatan dan dilakukan dengan cara baik-baik. Dari perkawinan
ini tidak mempunyai anak. Sejak perceraian tersebut ia tidak bersuami lagi.
Hal ini rupanya memberi faedah kepadanya,
sehingga ia dapat menumpahkan seluruh perhatian dan hidupnya kepada perguruan
yang dia miliki.
2. Pendidikan yang dipeloreh
Rahmah hidup dan dibesarkan dilingkungan
keluarga yang taat dan kuat agama dan adatnya. Sekalipun adat yang sangat kuat
pada masanya berlaku, pihak keluarga nya adalah orang berpendidikan, dan mereka
tidak mempertentangkan adat dan agama, tapi menempatkan adat dalam agama.
Melalui keluarga dan lingkungannya, rahmah banyak belajar, walaupun ia pada
waktu kecilnya belum bersekolah di Sekolah Dasar.ia belajar tulis baca dan
berhitung dari dua orang kakaknya laki-laki, yaitu Zainuddin El-Yunusiy dan
Muh. Rasyad. Pendidikannya bersifat otodidak. Namun rahmah baru belajar secara
teratur di dunia diniyah School yang bersifat Ko-edukasi dengan sistem
klasikal.
Rahmah termasuk salah seorang anak yang
senang membaca, punya kemauan keras dan bercita-cita tinggi. Ia tidak
mendambakan saja belajar pada satu tempat. Di samping belajar sendiri, beliau
juga belajar dengan ulama-ulama besar yaitu Syekh Abdul karim Amrullah (ayah
dari Hamka), Syekh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi,
Syekh Djamil Djambek dan Syekh Daud Rasyidi. Bahkan sejak umur 10 tahun beliau
sudah gemar mendengarkan pengajian yang diadakan di surau-surau secara
bergilir.
Selain belajar ilmu keagamaan, beliau juga
menambah ilmu pengetahuan tentang kebidanan, baik melalui keluarganya maupun
melalui tenaga ahlinya, yaitu dokter Sofyan, dokter Tazar, dokter A. Saleh,
dokter Arifin, dan dokter A. Sani.
Olahraga dan senam (Gymnastiek) serta
renang dipelajarinya dengan seorang guru Meisjes Normal School yaitu nona
Oliver. Kemudian ia juga mempelajari cara bertenun tradisional, jahit-menjahit,
pelajaran kewanitaan, berenang, dan ilmu-ilmu umum lainnya seperti ilmu hayat,
ilmu alam, ilmu bumi dan ilmu lainnya ia pelajari sendiri dari buku.
Semua ilmu itu berimplikasi positif kepada
dirinya, kemantapan ilmu dan kepribadiannya. Kemudian semua ilmu yang ia
peroleh ia ajarkan kepada murid-muridnya.
Dari kegiatan Rahmah menuntut ilmu
tersebut, adalah merupakan manifestasi dari ketidakpuasannya tehadap ilmu
pengetahuan yang diperolehnya, dan menyadari kaumnya yang sejenis yang tidak
beroleh kesempatan memperoleh pendidikan sebagaimana yang dialaminya. Disamping
itu ia melihat dan mendengar bahwa sebagian besar masyarakat masih berpegang
kepada pendapat lama. Keadaan yang demikian, merupakan salah satu pendorong
yang kuat bagi Rahmah untuk mendirikan sekolah agama khusus untuk anak-anak wanita
dikemudian hari.
Di sekolah yang didirikan kakaknya,
Zainuddin Labbai, yaitu Diniyah School, ia merasa tidak puas dengan pendidikan
yang ia terima, menyebabkan ia belajar ulama-ulama sebagaimana disebut di atas.
Rahmah melihat bahwa hukum agama sangat erat
sangkut pautnya dengan seluk beluk kewanitaan. Ia merasakan, dengan sistem
koedukasi seperti yang dilakukan kakaknya atau sekolah-sekolah pemerintah pada
zaman penjajahan Belanda tidak dapat memberikan ilmu secara bebas dan
mengupasnya secara detail. Maka ia berkesimpulan perlu ada sebuah Lembaga
pendidikan khusus untuk anak wanita.
Rahmah mendirikan sekolah khusus untuk
perempuan, pada saat masyarakat masih berannggapan bahwa perempuan tidak pantas
dan belum berhak memperoleh pendidikan yang layak. Harapan dan cita-cita Rahmah
untuk mendirikan sebuah ruang pendidikan khusus untuk anak-anak perempuan besar
sekali, supaya mereka mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk maju dan
dapat menimba ilmu pengetahuan agama Islam lebih banyak dan lebih intensif.
Dilatarbelakangi oleh landasan ideal
perguruan, yaitu al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw., dikembangkan menjadi sebuah
cita-cita yang ingin dicapai oleh Rahmah El-Yunusiyah, yakni : “Peningkatan
derajat kaum wanita dengan memberikan pendidikan yang diatur dan diatur dan
didasarkan atas ajaran agama Islam”.
Untuk merumuskan tujuan pendidikan Rahmah
berpegang kepada hadits Nabi Saw. Yang menyatakan bahwa baiknya masyarakat dan
negara, bila wanitanya baik, begitu pula sebaliknya.
Rahmah El-Yunusiyah bercita-cita
memperbaiki kedudukan wanita melalui pendidikan modern berdasarkan prinsip
agama. Karena menurutnya, salah satu cara untuk mengangkat derajat kaum wanita
adalah pendidikan. Mendidik seorang wanita berarti mendidik seluruh manusia.[3]
3.
Kepribadian
Rahmah El-Yunusiyah
Sejak umur 10 tahun Rahmah telah
memperlihatkan gejala tipe kepribadian terbuka untuk dunia luar serta terbuka
suka bergaul. Hal ini terlihat pada keikutsertaan beliau dalam mengikuti
pengajian-pengajian agama yang dilakukan kaum ibu dari masjid ke masjid.
Tipe kepribadian Rahmah yang terbuka ini,
mulai menampakkan diri setelah belajar di Diniyah School dan ikut pengajian di
Surau Jambatan Besi. Dalam perkembangan kepribadiannya selanjutnya, ia
cenderung lebih mendahulukan kepentingan orang banyak dari kepentingan pribadi
atau dirinya sendiri, bahkan tak jarang ia tidak mau orang lain terganggu
karena perbuatannya.
Rahmah yang dari hari kehari tumbuh menjadi
gadis remaja, mempunyai sifat pemalu, yang membawa dirinya jarang bergaul
dengan kawan-kawannya. Tapi sifat pemalunya ini pula yang membawanya menjadi
insan yang berwibawa dikemudian hari dan dapat menguasai berbagai masalah yang
ditanganinya, sehingga ia berlapang hati dalam kerumitan dan kesukaran yang
menimpa dirinya. Bersikap tegas dalam menghadapi sesuatu dengan keyakinan yang
ada padanya.
Tempaan pengalaman hidup telah membentuk
kepribadian Rahmah menjadi seorang yang tabah, penuh toleransi dan teguh
pendirian, serta berkeimanan yang kuat, akidah yang tangguh dan ketakwaan yang
kokoh.
Hasnawi Karim pernah mengungkapkan bahwa,
sulit dibayangkan bagaimana perjuangan, keuletan dan kegigihan Rahmah pada masa
itu (mewujudkan cita-citanya). Beliau berhadapan dengan kekolotan dan
keterbelakangan kaum wanita, jatuh dan bangun mewujudkan cita-citanya demi
menegakkan harkat dan martabat kaum wanita. Di lain pihak beliau harus
berhadapan dengan tekanan penajajah, hambatan, tantangan kekakuan yang menetang
kehadiran sekolah khusus wanita. Segala ejekan dijadikan sebagai pendorong untuk
mewujudkan cita-citanya.
Bila beliau menghadapi kesulitan, malah
beliau semakin bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan
berbagai ibadah. Sehingga pekerjaan apapun di hadapinya, dilakukannya dengan
rasa penuh tanggung jawab, tanpa mengenal mundur dan putus asa disertai
semangat baja.
Begitupun dengan sifat Rahmah, bahwa sifat
penyayang yang dimilikinya tidak terbatas hanya terhadap sesame manusia saja,
tapi juga pada berbagai macam hewan.
Sungguh mengagumkan (tutur Ali Akbar) bahwa
beliau sewaktu berumur 23 tahun telah sanggup untuk mendirikan dan membimbing
sendiri Perguruan Diniyah Putri di Padang Panjang, hingga tahun 1930 mendirikan
gedung untuk sekolah tersebut dengan hasil usaha beliau mencari dana
kemana-mana, meyakinkan umat tentang pentingnya perguruan tersebut.
Penampilan beliau tidak emosional bila
berbicara, tenang bila berpidato. Berpakaian sederhana dan rapi serta tetap
berpakaian klasik, kerudung, baju kurung dan sarung, berperhiasan satu dua,
melengkapi pakaian tersebut.
Rahmah El-Yunusiyah berfikir sederhana
“manusia yang dilahirkan itu harus dijadikan manusia yang benar-benar manusia
yang dikehendaki Tuhan”. Karena itu kaum ibu yang melahirkan manusia itu harus
dijadikan manusia yang benar-benar manusia yang sanggup menjadikan anak yang
dilahirkannya memenuhi kehendak Ilahi, yaitu manusia yang akan menyelamatkan
dunia ini.
Sebagai seorang pemimpin, Rahmah adalah
salah satu sosok yang tangguh, bercita-cita tinggi, berkemauan keras disertai
kesanggupan bekerja keras. Untuk mencapai suatu cita-cita tidak mengenal mundur
dan berputus asa, bahkan rela mengorbankan tenaga dan harta bendanya.
Dengan sifat-sifat dan kepribadian Rahmah
yang demikian, telah membawa Rahmah ke jenjang sukses dalam mewujudkan
cita-citanya, baik dalam sikap hidupnya sebagai seorang muslimah, maupun
sebagai seorang idealist yang sarat dengan cita-cita.[4]
4.
Kurikulum Pendidikan Diniyah Putri
a. Keberadaan Kurikulum
Kurikulum
merupakan rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai panduan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Sebagai rencana pendidikan, Ia mempunyai fungsi yang strategis sebagai
penghubung antara idealisme dan kenyataan praktek kependidikan. Dengan kata
lain, kurikulum berfungsi sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan yang
hendak dicapai oleh lembaga pendidikan atau sekolah tertentu. Sebagai alat
untuk mencapai tujuan pendidikan, Ia mempunyai peran yang sangat penting dalam
kegiatan pendidikan, karena ia menjadi acuan praktis dalam kegiatan tersebut.
Ia memberi gambaran yang jelas tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
menjadi sasaran fokus studi di Sekolah. Dengan demikian, ia juga memberikan
gambaran yang lebih konkrit tentang lulusan yang diharapkan akan dihasilkan oleh
sekolah yang bersangkutan.
Meskipun bukan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan
keberhasilan suatu proses pendidikan, kurikulum memiliki andil yang besar dalam
memberikan corak hasil proses tersebut. Karena itu, agar hasil dari proses
tersebut selalu sejalan dengan perkembangan serta tuntutan kebutuhan
masyarakat, kurikulum sebagai alat untuk mencapai idealisme pendidikan harus
selalu dinamis, menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan tersebut.
Membicarakan suatu kurikulum ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan, yaitu
organisasi, komponen, dan orientasi. Namun pada pembahasan ini, ketiga hal itu
tidak akan dibahas.
Pendidikan dewasa ini berjalan di atas suatu program yang jelas. Maka kurikulum
merupakan suatu program bagi jenjang sekolah dalam suatu lingkungan sekolah
tersebut. Dapat juga ada kurikulum itu terlihat sebagai program bagi unit
periodesasi sekolah dalam rangka mengantar anak-anak kepada taraf pendidikan,
tingkah laku dan pola pikir yang diharapkan, serta berusaha pula mengangkat
derajat hidup masyarakat mereka dan merealisasikan tujuan akhirnya.
Sesuai dengan masanya, Diniyah Putri sebagai sekolah agama yang
mendidik anak putri, telah tampil dengan penuh kepercayaan diri dalam kondisi
yang penuh tantangan hambatan dari berbagai kalangan waktu itu. Namun ia tetap
tegar menghadapi semuanya itu walaupun hanya dengan bermodalkan kemauan yang
kuat dan semangat yang membaja dari pendirinya, yaitu Rahmah El Yunusiyah.
Dengan sarana yang sangat sederhana dan bahkan memprihatinkan waktu itu, Rahmah
telah melaksanakan pendidikan pada kaum wanita secara khusus beliau telah
ditempa dengan berbagai ilmu pengetahuan, lalu semuanya pun diberikan kepada
muridnya yang secara bertahap mengalami perkembangan baik dari segi sarana,
mata pelajaran, murid murid dan guru.
Diniyah Putri adalah lembaga pendidikan agama yang berdasarkan
Islam yang berpedoman kepada al-quran dan al-sunnah Nabi SAW. Secara lengkap
Aminuddin Rasyad mengemukakan bahwa Landasan ideal dari cita-cita Rahmah adalah
:
1)
Alquran
dan al-sunnah
2)
Memperjuangkan
terciptanya suatu masyarakat Islam yang berakhlak mulia dengan mengangkat
derajat kaum wanita ke tempat yang sewajarnya sesuai dengan ajaran Islam.
3)
Cara
beliau berjuang untuk mencapai cita-cita ialah dengan melalui pendidikan dan
dakwah.
4)
Untuk
pedoman dalam melaksanakan pendidikan, beliau telah menggariskan tujuan
pendidikan pada perguruan Diniyah Putri.
“Membentuk putri-putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang
cakep dan aktif secara serta bertanggung jawab dengan tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.”
Ibu
pendidik dalam tujuan pendidikan di atas mengandung arti yang sangat dalam
sekali, yakni Ibu pendidik yang baik dalam rumah tangga, di sekolah (bila ia
menjadi seorang guru) dan dalam masyarakat.
Dari tujuan ini terlihat bahwa betapa dalamnya pemikiran Rahmah
yang berpikir jauh kedepan, yang hal ini benar-benar sangat dibutuhkan oleh
setiap insan yang ingin maju, oleh setiap situasi dan kondisi, bukan saja untuk
zamannya tapi untuk setiap zaman. Oleh karenanya untuk mencapai tujuan yang
demikian itu Sudah barang tentu diperlukan kurikulum yang benar-benar dapat
berfungsi sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Adapun tujuan pendidikan tersebut diwujudkan melalui program
pendidikan sebagai berikut :
1)
Program
pendidikan umum yang terdiri dari kelompok pengetahuan umum, bahasa, keterampilan
dan sebagainya.
2)
Program
pendidikan keahlian di bidang agama dan pengetahuan agama.
3)
Program
pendidikan khusus.
4)
Program
pendidikan di asrama
Untuk melihat bagaimana kurikulum Diniyah Putri tersebut dari
awalnya hingga mengalami perkembangannya, akan dikemukakan terlebih dahulu
berikut ini jenis lembaga pendidikan yang ada dalam lingkungan perguruan
Diniyah Putri.[5]
b.
Jenis
Lembaga Pendidikan Diniyah Putri
Adapun jenis-jenis pendidikan yang pernah ada dan dibina oleh
perguruan ini, nampaknya telah melengkapi semua tingkat pendidikan, yaitu sejak
taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Selengkapnya adalah terdiri dari:
Sekolah Menyesal, Sekolah Taman Kanak-kanak, Sekolah Diniyah rendah pertama
Bagian B, Sekolah Diniyah pertama Bagian C, Kuliayatul Mu’allimat El Islamiyah
(KMI), dan Perguruan Tinggi Diniyah Putri.
Adapun lembaga pendidikan yang ada dewasa ini (sampai tahun 1978),
di lingkungan Diniyah Putri adalah : Diniyah Menengah Pertama (DMP) bagian B,
Diniyah Menengah Pertama (DMP) bagian C, Kuliyatul Mu’alimat El-Islamiyah
(KMI), Fakultas Dirasat Islamiyah Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Sekarang,
perguruan Diniyah Putri mempunyai program pendidikan kembali membuka pendidikan
dari Taman Kanak-kanak, sebagaimana diungkapkan dalam buku “Selayang Pandang 75
tahun perguruan Diniyah Putri Padang Panjang” sebagai berikut :
1)
Taman
kanak-kanak Islam Rahmah El-Yunusiyah.
2)
Madrasah
Ibtidaiyah (MI) Rahmah El Yunusiyah.
3)
Diniyah
Menengah Pertama (DMP).
4)
Kuliyatul
Mu’allimat al-islamiyyah (KMI).
5)
Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Putri Rahmah El Yunusiyah.
Tingkat dan jenis pendidikan yang ada pada perguruan ini senantiasa
mengalami perubahan. Ini terlihat pada keberadaannya yang memang memperhatinkan
kebutuhan masyarakat, dan oleh pengurus selalu disesuaikan dengan massanya
artinya terjadinya perubahan dalam jenis dan jenjang pendidikan tersebut,
amatlah disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, kebutuhan masyarakat di
kala itu dan kondisi yang mengharuskan, ia harus berbuat begitu.
Untuk melihat lebih lengkap tentang jenis dan jenjang pendidikan
yang ada di perguruan Diniyah Putri ini secara garis besarnya akan disajikan
berikut ini.
Tahun 1923 tepatnya tanggal 1 November 1923, berdiri sebuah
perguruan agama untuk anak-anak wanita dengan nama Al Madrasahtud Diniyah Lil
Banat. Sekitar tahun 1925 namanya diubah dengan nama Diniyah School Putri, dan
2 tahun kemudian diubah lagi dengan nama Al Madrasah Diniyah perempuan. Pada
ulang tahun perguruan yang ke-15 di tahun 1938, nama perguruan kembali diubah
dengan nama Diniyah School Putri.
Sampai akhir tahun 1930, terdapat dua buah lembaga pendidikan di
lingkungan perguruan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Menyesal School. Lama
pendidikan semula ditetapkan adalah 6 tahun, namun kemudian untuk meningkatkan
mutu pelajaran, direncanakan lama pendidikan menjadi 7 tahun. Pada tahun
1931 peraturan ini mulai dilaksanakan. Adapun masa belajar 7 tahun ini dibagi
menjadi dua bagian, yaitu masa 4 tahun pertama dinamakan Ibtidaiyah dan masa
belajar 3 tahun kedua dinamakan Tsanawiyah. Terjadinya perubahan hal yang
demikian memberikan pengertian bahwa para pengasuh dalam masa 7 tahun itu telah
melakukan suatu langkah maju yang semua itu tidak terlepas dari kondisi
masyarakat waktu itu.
Menyesal School, dianggap sebagai usaha pelengkap bagi kegiatan
perguruan, dimaksudkan hanya sebagai lembaga pendidikan yang bersifat kursus.
Namun secara administratif dan keuangannya dikelola bersama sama dengan
perguruan Diniyah Putri, yang pada mulanya murid-muridnya terdiri dari wanita yang telah
berumah tangga dan yang mau wanita gadis. Akan tetapi
tahun ajaran 1924 dilakukan pemisahan antara murid-murid tersebut. Murid yang
telah berkeluarga dimasukkan ke Menyesal School. Sekolah menyesal atau menyesal
school ini berlangsung selama 7 tahun dan tahun 1932 tidak diteruskan lagi,
mengingat Rahmah lebih menitikberatkan perhatiannya kepada perguruan agamanya,
yaitu pendidikan anak anak gadis.
Pada tanggal 1 Februari 1937, diresmikan pula berdirinya sekolah
baru pada Diniyah Putri ini yang bernama kuliyatul Mu’allimat El-islamiyyah (KMI)
sebagai lembaga pendidikan keempat. Pendidikan di KMI ini berlangsung selama 4
tahun, kemudian diubah menjadi 3 tahun. Tujuannya
adalah untuk mendidik Putri bangsa menjadi guru agama.
Aminudin Rasyad mengemukakan bahwa perkembangan lainnya yang
terjadi di lingkungan perguruan Diniyah Putri tahun 1937 sampai 1946 adalah
didirikannya Junior Institut tahun 1938, yaitu sekolah umum yang setingkat
dengan sekolah rakyat 5 tahun. Pada tahun 1939 didirikan pula sebuah sekolah
yang setingkat dengan IHS yaitu Islamitisch Hollandsch school (IHS). Pada masa
pendudukan Jepang di IHS namanya diubah menjadi Sekolah Damai, sebagai
singkatan dari “Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia”.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar laki-laki, Rahmah pada
tahun 1940 mendirikan pula sebuah sekolah guru Putra Islam yaitu : Kuliyatul Mu’allimat Al-islamiyyah. Sampai tahun 1946
telah berdiri 6 buah lembaga pendidikan, namun tidak semuanya yang dapat
diteruskan disebabkan keadaan waktu itu, sehingga yang masih berjalan adalah
Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Kuliyatul Mu’allimat Al-islamiyyah.
Tahun ajaran 1947 Rahmah mendirikan empat buah lembaga pendidikan
baru, yaitu Sekolah Diniyah rendah (SDR), Sekolah Diniyah Menengah Pertama
bahagian A (DMP bag. A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama bahagian B (DMP bag.
B), Sekolah Diniyah menengah bahagian C (DMP Bag. C).
Sejak tahun 1947 sampai 1978 terdapat 5 buah lembaga pendidikan
yaitu SDR, Sekolah Diniyah Menengah Pertama bahagian a b c dan Kuliyatul Mu’allimat
al-islamiyah. Setelah setahun matinya SDR, pada tahun 1964 berdiri pula sebuah
Akademi Diniyah Putri sebagai persiapan berdirinya Perguruan Tinggi Diniyah
Putri. Dari tahapan-tahapan lembaga pendidikan yang didirikan Rahmah di atas,
maka murid-murid akan dapat menyempurnakan pendidikan yang sampai pendidikan
tinggi. Dengan demikian pula lengkap lah pendidikan seorang wanita (secara
formal) yang akan menjadi Ibu pendidik sebagaimana yang menjadi tujuan
perguruan.
Akademi tersebut hanya berjalan selama 2 tahun dan pada tanggal 22
November 1967 diresmikan menjadi Perguruan Tinggi Diniyah Putri Padang Panjang,
dengan 2 fakultas yaitu Fakultas Tarbiyah dan Dakwah. Kemudian tahun 1969
diubah namanya menjadi Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI).
Tahun 1986 dibentuk Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama pada
Perguruan Tinggi Diniyah Putri, dengan dasar dikaderkannya murid-murid KMI
untuk menjadi guru. Maka tahun 1987 Kopertais Wilayah 4 Sumbar Riau Jambi
memberi izin operasional kepada Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Diniyah
Putri dengan nama “Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Rahmah El Yunusiyah Jurusan Pendidikan
Agama Islam”. Untuk menyelaraskan nama STIT Rahmah dengan Yayasan Rahmah El
Yunusiyah, maka berdasarkan SK Menag no. 94 Tahun 1992 tanggal 27 April 1992, STIT
Rahma dirubah menjadi STIT Diniyyah Putri El Yunusiyah, dengan kurikulum yang
disamakan dengan IAIN Imam Bonjol Padang.
Tahun 1982 didirikan pula Taman Kanak-kanak Islam (TKI) Rahmah El
Yunusiyah dalam rangka mengembangkan potensi anak anak prasekolah. Kemudian
tahun 1983 Yayasan Rahmah El Yunusiyah mendirikan lagi pendidikan guru taman
kanak-kanak Islam (PGTKI). Setelah tahun 1992 PGTKI yang pada mulanya berdiri
sendiri, dijadikan sebagai salah satu program yaitu Diploma 1 jurusan PGTKI
pada STIT Diniyyah Putri El Yunusiyah sampai sekarang. Demikian jenis
pendidikan yang pernah ada dan ada dewasa ini dilingkungan Perguruan Diniyah Putri yang
dalam perkembangannya senantiasa mengalami kemajuan. Hal ini memberi pengertian
bahwa pengelolanya sangat peduli terhadap kondisi yang berkembang serta
kebutuhan yang diharapkan.[6]
B. Abdullah
Ahmad
1.
Biografi dan
Pemikirannya
Abdullah Ahmad adalah seorang ulama
pembaharu pendidikan islam, pendiri Perguruan Adabiah di Padang dan merupakan
pelopor pendidikan madrasah di Indonesia. Oleh Profesor Abudin Nata, Abdullah
Ahmad dimasukkan di antara 21 tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia. Kiprah dan pemikirannya disejajarkan dengan K.H. Ahmad Dahlan, K.H.
Hasyim Asy’ari, dan Ki Hajar Dewantara.[7]
Ia dilahirkan di Padang Panjang pada tahun
1878, putra dari seorang ulama yang juga pedagang bernama Haji Ahmad. Abdullah
memperoleh pendidikan agama dari orangtuanya, dan mengikuti pendidikan dasar di
sekolah Kelas Dua yang khusus di peruntukkan bagi anak-anak pribumi di kota
kelahirannya.
Dalam usia 17 tahun, pada tahun 1895,
Abdullah berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji dan belajar ilmu agama
islam kepada Syekh Ahmad Khatib, ulama asal Minangkabau yang menjadi Imam Besar
Masjidil Haram dari Mahzab Syafii. Selama empat tahun di Mekah, Abdullah juga
menuntut ilmu dari beberapa orang ulama lainnya di sana. Ia juga aktif
mengikuti gerakan Wahabi yang sedang gencar-gencarnya pada waktu itu. Abdullah
termasuk murid Ahmad Khatib yang tekun dan cerdas, sehingga pernah diangkat
menjadi asisten oleh gurunya tersebut.
Abdullah Ahmad kembali ke Minangkabau pada
tahun 1899, dan kemudian mengajar di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang,
dengan menggunakan sistem balaqah (murid duduk melingkar mengelilingi guru).
Bersama sahabatnya Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), ia termasuk
ulama kaum muda yang menentang bid’ah dann tarekat.
Sekitar tahun 1906 Abdullah Ahmad pindah ke
Padang untuk menjadi guru menggantikan pamannya, Syekh Abdullah Halim, yang
baru meninggal dunia. Ia menjadi guru agama di Masjid Ganting, dan mempunyai
pula Jemaah tetap sekitar 300 orang yang mengadakan pengajian dua kali sepekan
secara bergiliran dari rumah ke rumah. Sebagian murid-murid pengajiannya adalah
orang-orang dewasa, di antaranya adalah para pedagang di Kota Padang.
Di Padang Abdullah Ahmad menyaksikan
terjadinya perlakuan tidak adil bagi kaum pribumi untuk mendapat pendidikan
dari pemerintah kolonial. Waktu itu sudah ada sekolah dasar HIS untuk anak-anak
Belanda dan Eropa, atau HCS untuk anak-anak keturunan China. Tetapi tidak ada
sekolah untuk anak-anak pribumi kebanyakan, termasuk untuk anak-anak para
pedagang. Hal inilah yang melatarbelakangi Abdullah menggagas pendirian Adabiah
School (Perguruan Adabiah) pada tahun 1909, yaitu setelah ia mengunjungi
sekolah Iqbal di Singapura yang didirikan dan dikelola teman sama sekolahnya di
Mekah, Syekh Tahir Jalaluddin.
Perguruan Adabiah didirikan atas bantuan
para pedagang di Kota Padang. Ini adalah perguruan Islam yang pertama
menggunakan sistem kelas, memakai bangku, meja dan papan tulis. Menurut Mahmud
Junus, Adabiah adalah madrasah pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia,
karena menurut penyelidikannya tidak ada madrasah atau sekolah serupa yang
didirikan lebih dulu dari sekolah Adabiah. Madrasah ini berdiri sebagai sekolah
agama sampai tahun 1914, dan sejak tahun
1915 diubah menjadi HIS Adabiah.
Dengan aktivitas tersebut, ada dua
kepeloporan yang dilakukan Abdullah Ahmad. Selain merupakan madrasah pertama di
Indonesia, sejak menjadi HIS Adabiah sekolah ini juga merupakan sekolah umum pertama
di Indonesia yang memasukkan pelajaran agama Islam dan Al-Qur’an sebagai mata
pelajaran wajib dalam sistem atau kurikulumnya. Inilah yang membedakannya
dengan HIS yang didirikan pemerintah Belanda.
Abdullah Ahmad terkenal getol
memperjuangkan masuknya mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum di
Minangkabau. Dalam hal ini, ia berlawanan dengan Datoek Soetan Maharadja, tokoh
adat ortodok dan pemimpin koran Soenting Melajoe yang beranggapan pendidikan
agama Islam tidak perlu masuk kurikulum sekolah, tetapi cukup dilakukan atas
prakarsa masyarakat. Parkara ini menjadi bahan polemic antara Soenting Melajoe
dengan majalah al-Moenir yang dipimpin Abdullah Ahmad.
Ciri lain kemodrenan HIS Adabiah adalah
dipilihnya guru-guru yang berbobot, yang setara dengan sekolah yang dikelola
pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan, berkat kemampuan kepemimpinannya, Abdullah
Ahmad berhasil mendapatkan dana dari pemerintah Belanda untuk menjalankan
sekolahnya, serta menempatkan pula guru berkebangsaan Belanda sebagai kepala
sekolah dan guru untuk pelajaran umum, serta guru-guru pribumi berkualitas
untuk pelajaran agama. Ia juga mengembagkan debating club (kelompok diskusi),
dan pada waktu itu merupakan sesuatu yang baru mengingat sebelumnya sistem
pendidikan lebih bersifat satu arah dari guru kepada murid. Tapi Abdullah Ahmad
mengembangkan metode diskusi, dimana antara murid dan guru bebas bertanya jawab
bahkan berdebat.
Sejak berdirinya, HIS Adabiah beberapa kali
mengalami perubahan. Sejak Proklamasi Kemerdekaan, HIS Adabiah berubah menjadi
peguruan umum yang menyelenggarakan pendidikan SD, SMP dan SMA. Menjelang
usianya yang ke-100 tahun, peguruan ini bahkan juga telah memiliki perguruan
tinggi. Jumlah pelajarnya untuk semua tingkat penddikan tersebut mencapai
ribuan orang.
Disamping sebagai perintis dan pelopor
pembaruan pendidikan, Abdullah Ahmad juga tercatat sebagai penulis yang
produktif. Untuk menyampaikan gagasan dan pemikirannya, sejak tahun 1911 ia
bersama Haji Abdul Karim Amrullah menerbitkan majalah al-moenir di Padang.
Meskipun masa hidup majalah tersebut hanya lima tahun (1911-1916), namun telah
banyak melahirkan pemikiran dan ide-ide pembaruan di bidang pendidikan dan
agama Islam.
Abdullah Ahmad juga menulis sejumlah buku.
Diantaranya ilmu sejati yang merupakan kumpulan tulisannya yang diterbitkan
dalam bahasa Arab-Melayu, terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh percetakan
al-munir. Ia juga menulis Sya’ir Perukunan yang berisi syair-syair untuk
nyanyian murid-murid sekolah. Karangannya yang lain berupa buku adalah Pembuka
Pintu Surga, al-Ittifaq wal Iftiwaq, serta Izharu Zaglil Kazibin.
Tokoh ini mengabdikan sepanjang hidupnya
untuk pendidikan dan kemajuan umat. Selain mendirikan dan mengelola sekolah, ia
juga menaruh perhatian besar bagi kemajuan para pendidik sendiri. Bersama
sejumlah ulama dan tokoh pendidikan terkemuka di Minangkabau, pada tahun 1919
Abdullah Ahmad mendirikan organisasi Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI).
Berkat perjuangan, kerja keras, kegigihan,
prestasi dan pengabdiannya di bidang pendidikan, pada tahun 1926 Abdullah Ahmad
bersama Haji Abdul Karim Amrullah memperoleh gelar Doktor Honoris Causa di
bidang pendidikan agama di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Abdullah
Ahmad, sebagaimana juga sahabatnya Haji Rasul, sangat keras menentang Jepang.
Sama kerasnya dengan sikapnya menentang komunis dan penjajahan Belanda. Tokoh
ini meninggal sebelum Proklamasi, tahun 1943. [8]
C.
Abdul Karim Amrullah
1.
Riwayat Hidup
Syekh Abdul Karim Amarullah lahir pada tanggal 17
Safar 1296 H, bertepatan dengan 10 Februari 1879 di Kepala Kebun, Jorong Betung
Panjang, Negeri sungai Batang Maninjau dalam Luhak Agam, Sumatera Barat. Ketika
dilahirkan diberi nama oleh orang tuanya Muhammad Rasul. Dilihat dari silsilah
keturunannya, Abdul Karim Amarullah merupakan keturunan kaum agama atau ulama
besar Minangkabau ketika itu. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Amarullah (gelar
tuanku kissai), seorang ulama besar di Minangkabau saat itu. Sedangkan ibunya
bernama Tarwasa.
Sebagai seorang keturunan ulama, Abdul Karim Amarullah
sangat diharapkan oleh keluarganya untuk menjadi ulama, meneruskan tradisi
keluarga dimasa yang akan datang. Semenjak kecil orang tuanya memberikan
dasar-dasar agama Islam. Kemudian beliau belajar kepada ulama-ulama yang
termasyhur pada waktu itu, seperti Tuanku H. Hud dan Tuanku Pakih Samun di
Tarusan, Tuanku Muhammad Yusuf di Sungai Rotan Pariaman. Cita-cita ayahnya
untuk menjadikan Abdul Karim Amarullah sebagai seorang ulama seperti beliau
tidak pernah surut. Untuk itu, setelah kembali dari menuntut ilmu di Sungai
Rotan, yaitu dalam usia 16 tahun, ayahnya menganjurkan Haji Rasul untuk pergi
ke Mekkah guna belajar agama.
Pada tahun 1312 H (1894), berangkatlah Haji Rasul ke
Mekkah guna menunaikan ibadah haji dan sekaligus untuk belajar agama. Sesampai
di Mekkah, beliau belajar agama kepada beberapa orang ulama besar, diantaranya
adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Taher Jalaluddin, Syekh
Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Salih
‘Bafadhal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Said Yaman dan Syekh Yusuf Nabhani. Dari
sekian banyak gurunya itu, Syekh Ahmad Khatib merupakan guru yang paling
dihormati dan dikaguminya.
Haji Rasul termasuk seorang murid yang cerdas. Beliau
tidak pernah merasa puas dengan keterangan yang diberikan guru, sehingga beliau
suka bertanya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Hamka.[9]
Dalam
belajar, beliau suka hanya menekur saja. Beliau suka bertanya kepada guru dan
kalau perlu, beliau suka membantah. Pada waktu itu hal yang demikian yang
sangat pantang. Kalau bertanya atau membantah guru, dicap durhaka. Syekh Ahmad
Khatib sangat sayang kepadanya, karena otaknya yang cemerlang, selipun
kadang-kadang beliau merasa tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan beliau.
Selanjutnya Hamka mengatakan bahwa ayahnya bercerita:
pernah ayah belajar kepada seorang guru, di mana saat menerangkan pelajaran
guru tersebut salah dalam menyampaikan, sebab kaji itu tidak ditelaahnya terlebih
dahulu di rumah sebelum mengejar. Maka kawan-kawan ayah terkejut dan memandang
ayah dengan mata yang berapi-api dan gurupun marah. Tetapi ayah tidak takut.
Ayah persilahkan guru itu memeriksa kembali buku pelajaran. Kebetulan apa yang
ayah kata benar, sehingga dengan perasaan yang agak malu, guru itu akhirnya
membenarkan pendapatku.
Setelah belajar selama 7 tahun di Mekkah, dalam tahun
1319 H/1901, tepat 100 tahun sesudah tiga orang haji, Haji Miskin, Haji Piobang
dan Haji Sumanik pulang dari Mekkah dengan mengembangkan paham Paderi, Haji
Rasul pun pulang ke Minangkabau bersama-sama kawannya Syekh Muhammad Djamil
Djambek dan Abdullah Ahmad. Sesampai di Minangkabau, beliau tampil sebagai
tokoh tiga serangkai pembaharuan Islam, melanjutkan gerakan pembaharuan Islam
yang telah dirintis oleh kaum Paderi.
Pada tahun 1904, beliau kembali ke Mekkah untuk kedua
kalinya bersama adik-adiknya Abdul Wahab, Mohammad Nor dan Muhammad Yusuf,
untuk memperdalam ilmu agamanya. Akan tetapi ketika sesampai di Mekkah, gurunya
Syekh Ahmad Khatib mengatakan kepadanya bahwa ilmunya telah cukup dan tidak
perlu lagi belajar kepadanya. Sebaliknya, Syekh Ahmad Khatib malah menyarankan
agar Haji Rasul sebaiknya mengajarkan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah
dimilikinya. Apabila dalam proses pengajaran tersebut ia menemui soal-soal yang
sulit dan rumit, maka ia disuruh datang bertanya kepadanya.
Setelah mengajar
selama 2 tahun di Mekkah Haji Rasul pulang kembali ke Minangkabau. Dalam
perjalanan pulang, beliau berjumpa dengan utusan Sultan Ternate, yang telah
mengenalnya di Mekkah. Utusan itu mengadakan bahwa Sultan menginginkan seorang
guru agama yang cakap dan dalam ilmunya. Untuk itu, beliau diajak pergi ke sana
dan menjanjikan akan mendapatkan jabatan yang layak. Tawaran itu tidak
ditolaknya, melainkan beliau menjawab bahwa beliau akan pulang dahulu, dan
kalau diizinkan oleh ayah beliau, tentu tidak keberatan pergi ke Ternate
memenuhi tawaran Sultan.[10]
2.
Pemikiran Abdul Karim Amarullah
Tentang Pendidikan
a.
Kurikulum
Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan Islm masih
bersifat tradisional. Kurikulum pendidikan masih tradisional, yang berkisar
pada al-Qur’an dan pengajian kitab, yang meliputi Nahwu Sharaf, Fiqih, Tafsir
dan lainnya, yang hanya terpaku pada situ kitab raja.
Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang
memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga tergerak hati
Syekh Abdul Karim Amarullah dan kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan
pembaharuan kurikulum pendidikan Islam. Ilmu-ilmu yang masuk ke dalam kurikulum
pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-kitab yang digunakan juga tidak
terpaku pada satu kitab saja. Ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dimasukkan ke
dalam kurikulum pendidikan Islam mencapai dua belas mata pelejaran dan dengan
menggunakan berbagai macam kitab. Mata pelajaran tersebut adalah:
1)
Ilmu
Nahwu 7)
Ilmu Musthalah Hadis
2)
Ilmu
Sharaf 8)
Ilmu Mantiq (logika)
3)
Ilmu
Fiqih 9)
Ilmu Ma’ani
4)
Ilmu
Tafsir 10)
Ilmu Bayan
5)
Ilmu
Tauhid 11)
Ilmu
6)
Ilmu
Hadis 12)
Ilmu Ushul Fiqih
Syekh Abdul Karim Amarullah menyusun kurikulum
pendidikan Islam berdasarkan tingkat atau kelas. Sebab Syekh Abdul Karim
Amarullahtelah menerapkan sistem klasikal dalam lembaga pendidikan Islam.
Berbeda dengan kedaan sebelumnya, pendidikan yang diberikan di lembaga
pendidikan Islam tidak dibedakan kelasnya antara yang sudah tinggi pelajarannya
dengan yang masih permulaan. Kondisi ini menurut Haji Rasul tidak efektif.
Sebab itu, beliau membagi murid-murid dalam kelas-kelas tertentu, sesuai dengan
tingkat pendidikannya.
Disamping itu, Haji Rasul juga memakai kitab rujukan
yang ditulisnya sendiri dan juga yang ditulis. Susunn kurikulum pendidikan
Islam yang diterapkan saat itu adalah:
1)
Pengajian
al-Qur’an
2)
Pengajian
Kitab, yang terdiri atas beberapa tingkat yaitu:
a)
Mengkaji
Nahwu, Sharaf dan Fiqh, dengan memakai kitab-kitab: Ajrumiah, Matan Bina,
Fathul Qarib dan sebagainya.
b)
Mangkaji
Tauhid, Nahwu, Sharaf dan Fiqh dengan memakai kitab-kitab: Sabusi, Syekh Khalid
(Azhari, ‘Asymawi), Kailani, Fathul Mu’in dan sebaginya.
c)
Mengkaji
Tauhid, Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab:
Kifayatul “Awam (Ummul Barahin), Ibnu Aqil, Mahali, Jalalain/Baidlawi dan
lain-lain.
Jika diperhatikan kurikulum pendidikan Islam yang
diterapkan Haji Rasul di atas, ternyata sesuai dengan kemampuan dan
perkembangan murid. Meskipun ilmu yang diajarkan sama, namun pada tingkat yang
lebih tinggi dipergunakan pula kitab-kitab yang lebih sulit dan lebih tinggi,
yang membutuhkan penelaahan lebih mendalam. Bahkan pada tingkat tinggi,
diajarkan pula ilmu Mantiq, ilmu Balaghah, ilmu Tasawuf dan sebagainya dengan
memakai kitab-kitab seperti: Idlahul-Mubham, Jauhar Maknun/ Talkhish, Ihya
Ulumuddin, dan lain-lain.
Disamping itu Haji Rasul juga memakai kitab rujukan
yang ditulisnya sendiri dan juga dituls oleh Zainudiin Labay El-Yunusiy, yang
merupakan guru bantu ketika masih mengajar di surau Jembatan Besi. Dengan
demikian, sekalipun kurikulum pendidikannya masih murni ilmu-ilmu agama Islam,
namun ilmu-ilmu keislaman yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikannya
telah berkembang, serta kitab-kitab yang dijadikan rujukan juga telah
diperbaharui.[11]
b.
Sistem
dan Metode Pembelajaran
Disamping memperbaharui kurikulum pendidikan Islam
yang dipandang sudah ditinggalkan zaman, Syekh Abdul Karim Amarullah juga
memperbaiki sistem dan metode pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan
terpenting dalam bidang sistem dan metode pembelajaran yang dibawa oleh Syekh
Abdul Karim Amarullah adalah
mengembangkan sistem klasikal dan menggunakan metode diskusi tanya-jawab.
Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berpikir bebas, membawa,
memahami, berkelompok dan berorganisasi. Murid-murid dirangsang untuk bertanya
dan berdebat dengan guru.
Sebagaimana diketahui bahwa sistem pembelajaran yang
berkembang dalam sistem pendidikan Islam saat itu adalah sistem halaqah. Dengan
sistem halaqah ini, murid-murid dan guru bersama-sama duduk di lantai membentuk
lingkaran. Kemudian guru membacakan kitab dan menerangkan isinya, sementara murid-murid
mendengarkan, memahami dan menghafal keterangan yang diberikan oleh guru.
Metode menghafal merupakan merupakan ciri umum dalam
sistem pendidikan Islam pada masa itu. Metode ini mengutamakan agar murid dapat
menghafal suatu pelajaran (verbolisme). Murid disuruh membawa berulang-ulang
pada yang disampaikan oleh guru, sehingga pelajaran tersebut benar-benar
melekat di kepala, walapun tidak begitu dipahami.
Metode hafalan yang digunakan dalam sistem pendidikan
Islam tradisional (sistem surau), tidak mendorong siswa untuk aktif. Murid
hanya pasif menerima materi pelajaran yang disampaikan guru dan manghafalanya.
Murid tidak boleh bertanya, apalagi membantah pendapat guru, sekalipun
keterangan guru itu diyakini salah. Bertanya atau berdebat dengan guru dipandang
menentang atau melawan pada guru.
Metode pembelajaran seperti ini menurut Syekh Abdul
Karim Amarullah tidak dapat membawa pada kemajuan pada murid. Dengan metode
demikian, murid akan berpikir sempit, sehingga tidak dapat memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang terus berkembang, ilmu
hanya sekedar dihafal, tetapi kurang dipahami, sehingga ilmu tidak dapat
memecahkan persoalan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, Syekh Abdul Karim
Amarullah berusaha memperbaharui metode pembelajaran yang dapat merangsang
murid untuk berpikir bebas, berdiskusi, berdialog, berdebat dan berorganisasi.
Murid tidak hanya untuk dituntut untuk menghafal ilmu yang diberikan, melainkan
juga harus memahami, mengabstraksi, mengkontekstualisasikan dan
mentransformasikan lebih jauh. Ini menunjukan bahwa Haji Rasul mulai
mengambangkan semangat ilmiah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya.
Dengan semangat dan etos ilmiah yang dikembangkan Haji
Rasul ini, maka menurut beliau sistem pembelajaran berhalaqah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman. Untuk itu pada tahun 1918 Haji Rasul
menyelenggarakan pendidikan berkelas di surau Jembatan Besi yang dipimpinnya.
Murid-murid dibagi menjadi tujuh kelas menurut umur dan tingkat pendidikannya.
Pada tingkat permulaan, murid-murid diajar oleh guru-guru bantu (asisten).
Diantara asistenya yang terkenal adalah Zainuddin Labay El-Yunusi. Kitab-kitab
yang diajarkan terbatas pada kitab-kitab yang dikarang oleh Zainuddin Labay
El-Yunusi sendiri atau oleh guru-guru lain. Pada tingkatan tertinggi baru
diajarkan kitab-kitab yang berasal dari Mesir di bawah asuhan Haji Rasul,
sebagai guru besar.
Pada mulanya kelas yang akan ditetapkan hanya tiga
kelas, yaitu kelas I,II, dan III. Akan tetapi setelah dicoba melaksanakannya,
ternyata kelas I harus dipecah menjadi empat tingkat, yaitu 1A, 1B, 1C, dan 1D.
Sementara itu kelas dua dibagi menjadi dua kelas, yaitu 2A dan 2B, kelas III
dapat dipertajan menjadi satu kelas. Kemudian kelas 1A, 1B, 1C, dan 1D menjelma
menjadi kelas 1, 2, 3, dan kelas 4. Sedangkan kepada kelas 2A dan 2B menjadi
menjelma kelas 5 dan 6. Seterusnya kelas 3 menjadi kelas 7.
Sistem dan metode pembelajaran baru dilaksanakan oleh
Haji Rasul di lembaga pendidikan Islam yang bernama Perguruan Thawalib Padang
Panjang, ternyata dapat membangkatkan motivasi yang kuat dari para muridnya
untuk mencapai kemajuan. Dengan metode diskusi, tanya jawab yang berdebat yang
dikembangkannya, timbal dari diri murid semangat untuk menggali ilmu sendiri.
Murid-murid menjadi lebih kreatif, berpikir bebas dan
berani mengemukakan pendapat. Dalam diri murid tertanam jiwa patriotik,
sehingga tidak heran kalau akhirnya banyak dari murid dan guru Thawalib yang
terjun ke lapangan politik, menentang penjajahan Belanda.
c.
Organisasi
Siswa
Haji Rasul memikirkan pola bagaimana supaya murid
terhimpun dalam organisasi. Beliau melihat bahwa organisasi itu adalah penting.
Tanpa adanya organisasi yang rapi, penjajahan mustahil dapat diusir. Semangat
berorganisasi ini mulai muncul dari diri Haji Rasul ketika beliau menyaksikan
organisasi Muhamdiyah di Yogyakarta. Oleh sebab itu, beliau menganjurkan kepada
murid-muridnya untuk membentuk sebuah Terorganisasi.
Ketika Bagindo Jamaluddin Rasyad memberikan ceramah
umum tahun 1915 di Padang Panjang, Haji Rasul menganjurkan kepada
murid-muridnya untuk menghadiri dan mendengarkan ceramah umum tersebut. Sebab
ceramah yang akan diberikan oleh Rasyad adalah berkaitan dengan pengalamannya
ketika mengunjungi Eropa dan melihat kemajuan yang dicapai di sana. Dalam ceramahnya
itu, Rasyad menjelaskan bahwa kemajuan yang dicapai oleh Eropa adalah karena
kamajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pentingnya berorganisasi.
Menurutnya Eropa telah memiliki kesadaran yang tinggi dalam berorganisasi.
Dengan berorganisasi, segala sesuatu akan mudah dicapai. Sebaliknya, usaha yang
bersifat perseorangan, tidak terorganisir, pasti akan berkesudahan dengan
kegagalan.
Setelah mendengar ceramah yang disampaikan oleh Rasyad
tersebut, timbullah keinginan dari murid-murid Haji Rasul untuk membentuk
sebuah organisasi. Untuk itu, disepakatilah membentuk sebuah organisasi
murid-murid dengan nama Persaiyoan. Tujuan utama dari organisasi ini adalah
untuk memudahkan murid dalam mendapatkan kebutuhan harian mereka dengan harga
yang murah dan dengan pembayaran yang longgar. Sejak itu berdirilah sebuah
organisasi yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi. Organisasi ini membentuk
suatu badan usaha yang menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para murid
sehari-hari, seperti sabun mandi dan sabun cuci. Kemudian juga disediakan buku
tulis, pensil, sehingga akhirnya Persaiyoan populer dengan sebutan “Perkumpulan
Sabun”.
Setelah perkumpulan ini berjalan, salah seorang murid
Haji Rasul, yaitu Hasyim berusaha mengembangkannya. Atas usahanya, semua keperluan
murid dilengkapi. Usaha ditambah dengan pelayanan gunting rambut, menjahit
pakaian, mencuci, setrika, dan keperluan harian lainnya. Menurut Datuk Palimo
Kayo, tahun 1918, Perkumpulan sabun tersebut berubah menjadi Thawailib, yang
kemudian menjadi nama sebuah perguruan yang termasyhur. Karena murid-murid Haji
Rasul di surau Jembatan Besi umunya berasal dari luar Padang Panjang, bahkan
banyak pula yang dari daerah lain di pulau Sumatera, maka Zainuddin Labay
El-Yunusi menambah nama Thawailib dengan kata Sumatera, sehingga menjadi
Sumatera Thawalib. Demikian juga pengajian di Surau Jembatan Besi disesuaikan
namanya dengan Sumatera Thawalib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu
pengurus sekolah yang anggota-anggotanya terdiri dari tamatan surau Jembatan
Besi, guru-guru muda dan pedagang-pedagang disekitar Padang Panjang.
d.
Kitab
Pegangan Guru dan Murid (Rujukan)
Pembaharuan dalam kurikulum membawa perubahan dalam
kitab rujukan. Pda tahun 1920 beliau melakukan pembaharuan dalam kitab-kitab
rujukan di Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Haji Rasul mulai menukar
kitab-kitab yang dipakai selama ini dengan kitab-kitab baru, terutama bagi
murid-murid kelas 7. Di kelas 7 ini kitab Bidayat al-Mujtahid karangan Ibnu
Rusyd mulai diajarkan, demikian juga kitab-kitab yang lain, seperti, Ushul
al-Ma’mul, Al-Muthazzab, dan sebagainya.
Menurut Taufik Abdullah, pemakaian kitab-kitab baru
ini, sudah mulai dilaksakan pada pertengahan tahun 1920. Murid-murid kelas
rendah disamping masih mempelajari kitab-kitab lama, juga harus dilengkapinya
dengan buku-buku baru karangan guru-guru mereka sendiri, yaitu karangan Haji
Rasul dan kawan-kawannya. Mulai saat itu, Perguruan thawalib Padang Panjang
dianggap sudah menapilkan dirinya menjadi sekolah agama Islam modern.
Pemakaian kitab-kitab klasik dan modern ini
memperlihatkan sasaran baru yang hendak dituju oleh Haji Rasul melalui
Perguruan Thawalib yang dipimpinnya, yaitu pengembangan intelektual dengan
memberikan kesempatan melakukan ijtihad, seterusnya membuka diri untuk menerima
perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.
Menurut Muhammad Yunus, suatu perubahan besar yang
dilakukan Haji Rasul dalam bidang penyediaan sarana dan prasarana belajar
setelah mengganti kitab Dhammun dan Al’Awamil yang ditulis tangan dengan kitab-kitab
yang sudah dicetak.
Demikianlah beberapa pemikiran dalam sistem pendidikan
Islam yang dibawa oleh Syekh Abdul Karim Amarullah, yang lebih populer saat itu
dengan sebutan “InyikDR” atau Haji Rasul. Dengan sistem pendidikan baru yang
dikembangkannya, telah melahirkan suatu revolusi mental, kemerdekaan berpikir,
wawasan yang luas, semangat kreativitas, dan sebagainya murid-muridnya,
sehingga pada gilirannya terdorong untuk melawan penjajahan Belanda.[12]
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dinamika sosial Islam di Minangkabau mengalami
perkembangan dengan baik, karena tingginya respon masyarakat terhadap
pendidikan, terjadinya interaksi antara tokoh ulama dan pendidik dengan dunia
luar, apakah melalui pendidikan di Mekah dan Mesir atau hasil interaksi dengan
pemikiran kolonial, yang tentunya memberikan corak berpikir yang dapat
berdialektika dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya dinamika pendidikan Islam di Minangkabau
cukup baik, yakni awalnya sistim pendidikan surau dengan model halaqah, menjadi
sistim pendidikan modern dengan model klasikal, revisi kurikulum dengan
penambahan mata pelajaran agama dan diajarkan juga mata pelajaran umum,
peningkatan SDM tenaga pendidik, dan dilakukan evaluasi pembelajaran yang
menjadi tolak ukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam.
Ketiga tokoh pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau
yang dituangkan pada pembahasan sebelumnya memberikan corak bagi perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia, khususnya dalam melakukan modernisasi pendidikan
Islam.
B.
Saran
Kami sebagai penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak yang dapat dipertanggung jawabkan. Kami sangat menerima saran
dan kritikan dari pembaca untuk membuat makalah ini lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, 2005, Tokoh-Tokoh Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Chaniago,
Hasril, 2010, 101 Orang Minang di Pentas
Sejarah, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Hakim,
Rusniati, 2001, Konsep Pendidikan Islam
Rahman El-Yunusiyah, Padang: Baitul Hikmah.
Ihsan, Fuad dan Hamdani Ihsan, 1998, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV
Pustaka Setia.
Ramayulis dan Samsul Nizar,
2006, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Saydam,
Gouzali, 2009, 55 Tokoh Indonesia Asal
Minangkabau di Pentas Nasional, Bandung: Penerbit Alfabeta.
Yunus, Mahmud, 1993, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung.
[1]
Gouzali Saydam, 55
Tokoh Indonesia Asal Minangkabau di Pentas Nasional, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2009), h. 207
[2] Rusniati Hakim, Konsep Pendidikan Islam Rahman El-Yunusiyah, (Padang: Baitul Hikmah, 2001), h.29-30
[5]
Fuad Ihsan dan Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), h. 274
[7]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11
[8]
Hasril Chaniago, 101 Orang
Minang di atas Pentas Sejarah, (Padang: Citra Budaya Indonesia, 2010), h.
132-135
[10]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 349-350
No comments:
Post a Comment