MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Tentang
Hakikat Manusia Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Islam
Disusun Oleh :
Kelompok I
Nadia Meluri
: 1614040016
Kiki Arista : 1614040009
Dosen
Pembimbing:
Prof. Dr. Zulmuqim, MA./ Rahmi, MA
JURUSAN
TADRIS MATEMATIKA (A)
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG
1439 H/2018 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengetahuan tentang hakikat manusia merupakan bagian amat
esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang kedudukan
dan perannya di alam semesta ini. Pengetahuan ini dangat penting karena dalam
proses pendidikan manusia bukan saja sebagai objek tetapi juga sebagai subjek,
sehingga pendekatan yang harus dilakukan dan aspek yang diperlukan dapat direncanakan
secara matang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja landasan Al-Qur’an tentang manusia?
2.
Apa pengertian manusia?
3.
Bagaimana kejadian manusia?
4.
Apa saja tugas manusia?
5.
Bagaimana dengan tujuan hidup manusia serta hubungannya dengan pendidikan?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui landasan Al-Qur’an tentang manusia
2.
Untuk mengetahui pengertian manusia
3.
Untuk mengetahui kejadian manusia
4.
Untuk mengetahui tugas manusia
5.
Untuk mengetahui tujuan hidup manusia serta hubungannya dengan pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Landasan Al-Qur’an Tentang Manusia
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia
itu berkaitan antara badan dan roh. Badan dan roh masing-masing merupakan
substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain.
Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi adalah substansi alam.
Di bawah ini dikutipkan sebuah ayat suci Al-Qur’an dan
sebuah hadits nabi Muhammad SAW yang menguraikan proses kejadian manusia. Dalam
Al-Qur’an tuhan berfirman dalam surat Al-Mu’minun ayat 12-14:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO
$uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$#
$VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13.
kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim).
14.
kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik. (QS.
Al-Mu’minun: 12-14).
Kemudian Nabi Muhammad SAW mengulas ayat suci tersebut
dengan sabdanya yang artinya:
“Bahwasanya
seseorang kamu dihimpunkan kejadiannya di dalam perut ibu selama 40 hari,
kemudian merupakan alaqah (segumpal darah) seumpama demikian (selama 40 hari),
kemudian merupakan mudgatan (segumpal daging) seumpama demikian (selama 40
hari). Kemdian Allah mengutus seorang malaikat, maka diperintahkan kepadanya
(malaikat) 4 perkataan dan dikatakan kepada malaikat engkau tuliskanlah
amalannya, dan rezekinya, dan ajalnya, dan celaka atau bahagianya. Kemudian
ditiupkanlah kepada makhluk itu ruh. (H.R
Bukhari)
Dari Al-Qur’an dan hadits tersebut di atas, jelaslah
bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan fisik manusia, tidak ada bedanya
dengan proses perkembangan dan pertumbuhan pada hewan. Hanya pada kejadian
manusia, sebelum makhluk yang disebut manusia itu dilahirkan dari rahim ibunya,
tuhan telah meniupkan ruh ciptaannya kedalam tubuh manusia. Inilah yang
membedakan manusia dengan hewan,karena tuhan tidak meniupkan ruh pada hewan.
Dari uraian diatas, terlihat pula bahwa pendirian di
islam bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari
bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu,
sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani
kehidupan material di alam yang bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer,
karena utuh saja tanpa jasad yang material tidak dapat dinamakan manusia.
Malaikat adalah makhluk ruhaniyah (bersifat ruh semata) tidak memiliki unsur
jasad yang material. Tetapi sebaliknya, unsur jasad yang material saja tanpa
ruh, maka juga bukan manusia namanya. Hewan adalah makhluk yang bersifat jasad
material yang hidup. Manusia tanpa ruh, tidak lebih dari hewan.
Pertama-pertama memang manusia sebagai makhluk alamiah
yang mempunyai sifat dan ciri-ciri sebagaimana makhluk alamiah lainnya, yang
terikat dengan hukum-hukum alamiah. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur
alam, ada unsur benda-benda mati, ada unsur tumbuh-tumbuhan (manusia mempunyai
sifat tumbuh dan berkembang), ada unsur-unsur hewani dengan kemampuan gerak,
mempunyai nafsu, insting, dan sebagainya. Tetapi manusia lebih dari pada itu.
Manusia secara fisik mempunyai bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih
sempurna. Secara alami, manusia menjadi makhluk yang paling tinggi.
Firman Allah SWT. dalam Q.S.At-tin ayat 4
Hxx. ¨bÎ) z`»|¡SM}$# #ÓxöôÜus9 ÇÏÈ
14. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas,
Demikian firman Tuhan, kesempurnaan bentuk fisik manusia
tersebut, masih dilengkapi oleh Allah dengan ditiupkan kepadanya ruhnya,
sehingga manusia mempunyai derajat yang mulia, lebih mulia dari malaikat.[1]
B. Pengertian Manusia
Beragam pendapat yang dikemukakan seputar hakikat
manusia. Pendapat tersebut tergantung dari sudut pandang masing-masing. Ada
sejumlah konsep yang mengacu kepada makna manusia sebagai makhluk. Dilihat dari
sudut pandang etika, manusia disebut homosapiens,
yakni makhluk yang memiliki akal budi. Lalu manusia juga disebut animal rational, karena memiliki
kemampuan berfikir. Berdasarkan pendekatan kemampuan berbahasa, manusia
dinamakan homo laqueen. Mereka yang
menggunakan pendekatan kebudayaan menyebut manusia sebagai homo faber atau toolmaking
animal, yaitu makhluk yang mampu
membuat perangkat peralatan.[2]
Selanjutnya ada 3 kata yang digunakan Al-Qur’an untuk
menunjuk makna manusia: Al-Basyar,
Al-Insan, dan An-Nas. Meskipun ketiga kata tersebut menunjuk
pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang
berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut:
a.
Al-Basyar
Kata Al-Basyar dinyatakan di
dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar di dalam 26 surat. Secara
etimologi Al-Basyar berarti kulit
kepala,wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini
menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada
kulitnya, dibanding rambut atau bulunya. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum
biologis manusia dengan hewan yang lebih di dominasi oleh bulu atau rambut.
Al-Basyar juga
dapat diartikan mulamasah, yaitu
persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna etimologis dapat
dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki sifat segala sifat
kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, keamanan, kebahagiaan, dan
lain sebagainya.
Kata Al-Basyar digunakan Allah
dalam Al-Qur’an untuk menjawab anggapan orang
Yahudi dan Nasrani yang menklaim diri mereka sebagai anak-anak dan
kekasih pilihan tuhan. Ini telah membentuk anggapan bahwa hanya kelompok
merekalah yang termulia dan berhak untuk diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Sedangkan kaum lainnya tidak demikian. Hal ini disampaikan dalam firmannya: Q.S
Al-Maidah :18
ÏMs9$s%ur ßqßguø9$# 3t»|Á¨Y9$#ur ß`øtwU (#às¯»oYö/r& «!$# ¼çnàs¯»¬6Ïmr&ur 4 ö@è% zNÎ=sù Nä3ç/Éjyèã Nä3Î/qçRäÎ/ ( ö@t/
OçFRr& ×|³o0 ô`£JÏiB t,n=y{ 4 ãÏÿøót `yJÏ9 âä!$t±o Ü>Éjyèãur `tB âä!$t±o 4 ¬!ur à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
$tBur $yJßguZ÷t/ ( Ïmøs9Î)ur çÅÁyJø9$# ÇÊÑÈ
18. orang-orang Yahudi dan Nasrani
mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu
karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya),
tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.
dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali
(segala sesuatu). (QS. Al-Maidah:18).
Kata Al-Basyar digunakan Allah
dalam Al-Qur’an untuk menjelaskan proses kejadian Nabi Adam A.S. sebagai manusia pertama, yang memiliki
perbedaan dengan proses kejadian manusia sesudahnya. Hal ini bisa terlihat dari
firman Allah: Q.S Al-Hijr/15: 28[3]
b.
Al-Insan
Kata Al-Insan berasal dari kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan
tumpah. Kata Al-Insan digunakan
Al-Qur’an untuk menunjuk manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.
Manusia yang berbeda antara seseorang dan yang lain, akibat perbedaan fisik,
mental dan kecerdasan.
Kata Insan menurut Musa Asy’arie
antara lain digunakan sebagai berikut:
1.
Manusia menerima pelajaran dari tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya.
2.
Manusia menerima pelajaran dari tuhan berupa Al-Bayan (perkataan yang fasih).
3.
Manusia memikul amanah
4.
Manusia mempunyai musuh yang nyata yaitu setan
5.
Tentang waktu harus digunakan agar tidak merugi
6.
Manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya
7.
Manusia mempunyai keterkaitan dengan marah dan sopan santun.[4]
c.
An-nas
Kata al-Nas dinyatakan dalam
al-qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata an-nas menunjukkan pada eksistensi
manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status
keimanan dan kekafirannya.
Dalam menunjuk
makna manusia, kata an-nas lebih
bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-insan.
Keumuman tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya.
Kata an-nas dinyatakan Allah
dalam al-qur’an untuk menunjuk bahwa sebagian besar manusia tidak memiliki
ketetapan keimanan yang kuat. Kadangkala ia beriman, sementara pada waktu yang
lain ia munafik. Adapun secara umum, penggunaan kata an-nas memiliki arti peringatan Allah kepada manusia akan semua
tindakannya, seperti : jangan bersifat kikir dan ingkar nikmat.[5]
C. Kejadian Manusia
Dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan
proses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan
tahapan biologi. Manusia pertama,
Adam a.s, diciptakan dari at-tin
(tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam
yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah
meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al An’aam/6:2,
Al-Hijr/15:26,28,29, Al-Mu’minuun/23:112, Al-Ruum/30:20, Ar-Rahman/55:4).
Penciptaan manusia selanjutnya adalah melalui proses
biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini,manusia
diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan di dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung di dalam rahim. Darah beku tersebut
kemudian dijadikan-Nya segumpal daging (mudghah)
dan kemudian dibalut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh (Q.S,
Al-Mu’minuun/23:12-14). Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyatakan
bahwa ruh dihembuskan Allah SWT ke dalam janin setelah ia mengalami
perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari
‘alaqah dan 40 hari mudghah.
Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam
teori pembentukan (taswiyah) sebagai
suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuat cocok untuk menerima ruh.
Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam a.s yang merupakan cikal
bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang semula adalah tanah liat yang semula telah
melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang sempurna. Tanah liat
berubah menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah,
kemudian menjadi sel sperma jantan dan indung telur. Kedua unsur ini bersatu
dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi
tubuh harmonis (jibillah) yang cocok
untuk menerima ruh. Sampai disini prosesnya murni bersifat materi sebagai
warisan dari leluhurnya. Kemudian setiap manusia menerima ruhnya langsung dari
Allah disaat embrio sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan
antara ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru manusia.[6]
D. Tugas Manusia
1.
Tugas Kekhalifahan
Berdasarkan ayat 30 dari surat Al-Baqarah dapat diketahui bahwa Allah SWT
bermaksud menciptakan makhluk istimewa yang Dia sebut memiliki tugas sebagai
khalifah Allah di bumi. Makhluk yang dimaksud itu ialah Adam. Al-Maraghi yang
dimaksud khalifah disini ialah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan
perintahnya kepada manusia. Pengertian inilah yang dimaknai bahwa khalifah itu
ialah makhluk yang diberikan Allah amanah untuk memimpin alam, dalam hal ini
manusia bertugas memelihara dan memanfaatkan alam semesta ciptaan Allah.
Eksistensi khalifah terletak pada daya kreatif untuk memakmurkan bumi. Oleh
karena itu jabatan khalifah merupakan jabatan yang bersifat kreatif ketimbang
sekedar status. Supaya manusia itu dapat melaksanakan fungsinya sebagai
khalifah secara maksimal, sudah tentu manusia itu memiliki ilmu pengetahuan dan
perlengkapan lainnya. Guna memenuhi persyaratan dalam bidang ilmu pengetahuan,
Allah SWT mengajari Adam tentang nama-nama sesuatu, seperti yang tertera dalam
surat Al-Baqarah ayat 31-33.
Berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tersebut, maka dia
mampu mengelola alam ini untuk kesejahteraan mereka. Mampu mengelola alam
pertama menjadi alam kedua dalam bentuk teknologi. Berdasarkan fungsi manusia
sebagai khalifah, maka tidak diragukan lagi manusia itu haruslah memiliki
seperangkat ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu kealaman maupun ilmu sosial, juga
ilmu humaniora disamping ilmu agama.[7]
2.
Tugas kehambaan (‘Abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi ‘Abd adalah ketaatan, ketundukan,
kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada tuhan. Ketundukan
dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh
hukum-hukum tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi
bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba
Allah, manusia tidak bisa terlepas dari kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai
fitrah untuk beragama.
Kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan tuhannya, tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena manusia telah berikrar sejak alam
arwah bahwa Allah SWT adalah tuhannya. Kepercayaan manusia kepada zat maha
agung yang ada di luar dirinya juga diiringi oleh realisme instinktif yang
tunduk dan patuh kepadanya. Kepatuhan tersebut kemudian dimanifestasikannya
lewat peribadatan-peribatan ritual, sehingga manusia memiliki beban dan tugas
sebagai makhluk pengabdi kepada tuhannya. Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan
manusia kepada zat yang maha agung, merupakan fitrah manusia yang dimiliki oleh
setiap manusia sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya. Pengenalan dan pengabdian
yang dilakukan oleh manusia sebagai realisasi kepada tuhannya pada mulanya
mereka lakukan sesuai dengan keterbatasan akalnya. Allah tidak ingin manusia
selalu berada dalam kesesatan. Untuk itu Allah mengutus para rasulnya sebagai
pemberi petunjuk kepada manusia, mana yang harus mereka sembah sebenarnya.
Lewat instintif pengakuan akan adanya zat yang menguasainya, lewat bimbingan
wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan perantaraan rasul, diharapkan
manusia akan mampu mengenal khaliknya lewat pengabdian yang ditunjukkannya
dalam kehidupan.[8]
E. Tujuan Hidup Manusia Serta Hubungannya Dengan Pendidikan
Manusia adalah makhluk yang ada (being) dan kebaradaannya (existence)
terus mengalami serangkaian proses menjadi (to
be). Dalam proses itu, manusia bergerak atau menuju kearah kesempurnaan
atau sesuatu yang dianggap sempurna. Dari dimensi fisik, manusia bermula dari
bayi kemudian tumbuh kembang menjadi remaja, dewasa, dan akhirnya tua serta
manula. Dari dimensi psikhis, manusia mengawali hidupnya dari tidak memiliki
pengetahuan tentang sesuatu sedikitpun, kemudian Allah SWT menganugerahkan
potensi pedengaran, penglihatan, dan hati, sehingga dengan mengembangkan
potensi itu manusia akan mampu menjadi makhluk yang bersyukur. Karenanya, dari
sisi ini, maka pendidikan islami haruslah merupakan suatu proses atau
serangkaian tahapan atau dimana manusia di didik secara berkelanjutan menuju
kearah kesempurnaan atau sesuatu yang dianggap sempurna (Al-Insan Al-Kamil) agar ia bersyukur kepada tuhannya. Untuk itu,
prinsip terpenting yang harus dianut oleh pendidikan islami adalah asas tauhid
dan belajar sepanjang hayat, dari buayan hingga liang lahat.[9]
Ada 2 implikasi konsep manusia dalam pendidikan Islam,
yaitu:
1.
Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen
(materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang
mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini
berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan
(integrasi) antara pendidikan Qalbiyah dan
‘Aqliyah sehingga mampu menghasilkan
manusia muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua
komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam proses kependidikan Islam, maka
manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi
pribadi-pribadi yang sempurna (Al-Insan
Al-Kamil).
2.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah
sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah
SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka
pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan
potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam
bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermanfaat
bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya,
baik sebagai khalifah maupun ‘abd.
Hal diatas harus menjadi acuan
dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam masa kini dan
masa depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat
bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan
merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaanya dalam
alam semesta ini.
Agar pendidikan umat berhasil
dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam
alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori
pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuan dan rasional
filosofis. Dalam hal ini harus dipahami pula bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk
menalar pesan-pesan tuhan yang absolut, baik melalui ayat-ayat-Nya yang
bersifat tekstual (Qur’aniyah),
maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat konstektual (kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Landasan Al-Qur’an Tentang
Manusia yaitu firman dalam surat Al-Mu’minun ayat 12-14 dan Q.S.At-tin ayat 4.
ada 3 kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia yaitu: Al-Basyar, Al-Insan, dan An-Nas. Meskipun ketiga kata tersebut
menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian
yang berbeda.
Dilihat dari proses
penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan proses penciptaan manusia dalam dua tahapan
yang berbeda yaitu: pertama, disebut
dengan tahapan primordial. Kedua,
disebut dengan tahapan biologi. Adapun
tugas Manusia yaitu tugas Kekhalifahan dan tugas kehambaan (‘Abd Allah).
Ada 2 implikasi konsep manusia
dalam pendidikan Islam, yaitu:
1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan
dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses
pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponen-komponen
tersebut.
2. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di
alam ini adalah sebagai khalifah dan
‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini
Allah SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini kami akui memang jauh dari sempurna. Jadi kami
sarankan untuk memperdalam masalah ini bisa dicari berbagai sumber bacaan
ilmu-ilmu pengetahuan atau makalah-makalah yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: PT Ciputat Press.
Al-Rasyidin. 2008. Falsafat
Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Daulay, Haidar Putra.
2014. Pendidikan Islam Dalam Perspektif
Filsafat. Jakarta: Prenadamedia Group.
Jalaluddin. 2011. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta:Kalam Mulia.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Zuhairini. 1995. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi Aksara.
[3] Al-Rasyidin dan Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,(Ciputat:
PT Ciputat Press, 2005), Hal. 1-4.
[4] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat,(Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), Hal. 41-42.
[6] Ramayulis dan Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Hal. 55-56.
No comments:
Post a Comment